bagian 15 : Titik Terendah

51 16 0
                                    

Setelah kepahitan yang ku terima rasanya hidupku kembali tak berwarna..
Bagaimana bisa? Aaaaarrrgh aku masih tak habis fikir, setega dan sekejam itukah mamah? Huh ya tuhan.. malaikat bersayapku berubah menjadi iblis tak bertanduk.

Aku masih tak berniat memberi tau Andra, bibi bahkan pamanku.. biarlah ini ku simpan dulu sendiri..
Rasanya aku kembali berduka dan hancur, panggilan telpon dan pesan whatsapp ku abaikan begitu saja.. yang aku inginkan saat ini hanyalah merenung dan berkeluh kesah pada papah.. ya pada papah..
Andai papah masih ada di sisiku dan kejadian beberapa waktu silam itu tak merenggut nyawa papahku, pasti saat ini aku masih bisa meluapkan semua pada peluk kasihnya.. sungguh kapal pembawa sial..

"Pah.. sekarang Dira harus gimana? Rasanya sakit pah, kenapa mamah begitu tega sama dira.. ya Dira tau laki-laki yang mamah pilih itu sangat kaya, namun apa mungkin uang lebih penting untuk mamah daripada Dira putri semata wayangnya?" Aku masih termenung dengan air mata yang tak hentinya membasahi pipiku  berharap koneksiku dengan papah tersambung..
Apa mungkin bisa? Nyatanya tidak..

......

Berjam-jam berlalu dan aku masih tetap sama. hanya duduk, diam dan membisu..
Semua berkesinambungan antara hati dan fikiran, semua tak pernah sejalan..

Rasanya aku ingin marah, ingin menangis sampai air mata tak lagi mewakili kesedihanku..
Setelah berjam-jam lamanya aku hanya meratapi nasib aku mulai berfikir dengan keras..

Haruskah aku terus begini? Apa yang harus aku lakukan sekarang? Haruskah aku meratapi semua yang ditakdirkan tuhan? Atau harus ikhlas ?
Tentu saja jawabannya aku harus tetap ikhlas dan sabar..
Oke Nadira, bangkit.. jangan lemah.. kamu bisa nadira.  Kamu bisa bangkit..

Setelah sekian lama akhirnya aku bisa sedikit melupakan rasa sakit itu dan kembali bangkit..
Badanku terasa lengket sekali, terlebih mukaku yang terkena air mata berjam-jam.. sangat kusam dengan mata lebam..

Aku bangkit dan langsung menuju kamar mandi, sekarang aku butuh menyegarkan badan yang terasa panas dan juga meredam otak dengan sedikit basuhan air..

.....

Setelah semua bersih aku duduk didepan cermin yang ada di kamarku, mata lebam masih tak juga hilang. Memang butuh waktu yang lama..

Semua kesedihanku membuatku lupa akan dunia nyata, sekarang pukul 21:45 hampir jam 10 malam..
Aku lupa segalanya sejak kakak tiriku datang dan pergi menyisakan luka,
Aku meraih ponselku yang tergeletak di kasur.. aku belum menyentuhnya sedari tadi..
Saat berbunyi berulang kali pun aku tidak peduli..

14 panggilan 157 pesan..
Waw.. selupa itukah aku dengan dunia nyataku..
Hahahaha rasa sakitku tak boleh lagi meruntuhkan benteng yang tersisa ..

Aku membuka satu persatu pesan dan melihat panggilan telpon.. Andra dan bibi..
Memang hanya dua orang itu yang mengerti dan pasti sangat mengkhawatirkan aku..
Namun sudah selarut ini aku tak mungkin membalas semua pesan dan juga menelpon bibi, jadi aku memilih menelpon Andra, hanya untuk menenangkan hati yang tak kunjung mereda..

Lama  sekali dia tak mengangkat panggilan, huuuffftttt mungkin dia sudah tidur.. ah sudahlah mungkin sekarang belum waktunya.. lebih baik aku juga harus tidur dan beristirahat..

Belum 15 menit mataku terpejam, dering ponselku berbunyi dengan nyaring dan membangunkan ku yang sebenarnya memang belum terlelap,.
Dengan cepat aku meraih ponselku, pasti Andra yang menelpon..
Ah ternyata bukan.. lantas no siapa ini? Tak ada nama yang tertera pada layar ponselku.. apa mungkin paman? Tapi ini sudah larut, Sudah angkat sajalah siapa tau penting..

"Halo, ini siapa ya?" Tanyaku hati-hati

"Iya halo" suara seorang laki-laki. Membuatku terdiam sejenak dan berfikir keras lagi.. siapa ? Ini siapa?
"Halo Nadira?"

"E-eh iya halo.. maaf ini siapa?"

"Ini kakak Nad, ini kak Denis" 

"Ngapain kamu nelpon saya? Selamanya kamu tetap bukan kakak saya.. ingat itu" jawabku cepat dengan nada ketus, hah.. kakak tiriku masih saja berani menelponku bahkan selarut ini, dasar ga tau diri

"Nad kamu ga boleh gitu sama kakak, walau pun begitu kakak itu peduli sama kamu"

"Hah peduli? Maaf peduli dibagian mana ya? Rasanya saya tidak pernah meminta dipedulikan"

"Hei Nad, mau ga mau pun aku tetap kakak kamu, aku yang harus jaga kamu"

"Ga perlu!"

Tanpa pikir panjang aku langsung mengakhiri pembicaraan menyebalkan ini, mataku mulai memanas dan benteng pertahananku mulai runtuh lagi.. ya aku kembali menangis..

Ku paksa mataku untuk tertutup dan harus segera tidur, walau nyatanya aku justru menangis dalam tidurku..
Ini lebih baik, hanya tidur yang bisa membuatku lebih tenang dan melupakan semua..

******
Maaf yang sebesar-besarnya.. ceritanya makin absurd.. hehe maklum lah ya..
Makasih juga buat yang udah kasih semangat dan makasih buat yang baca tanpa meninggalkan jejak..

Jangan lupa vote dan comment ya..

Terima kasih
Salamku
TiasEdawati :)

Senyum Dibalik DukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang