Prolog

133 10 0
                                    

Hari ini, tepat dihadapan Allah dan kedua orangtuaku, akan ada seseorang yang memintaku menjadi pendampingnya, menjadi teman hidupnya, ya. Aku akan menjadi seorang istri. Sungguh bahagianya, ada perasaan sedih juga karena aku akan meninggalkan kedua orangtuaku, kedua malaikatku.

Tak terasa air mata membasahi pipiku, ada rasa bahagia dan sedih yang tercampur jadi rasa haru. Aku memeluk ibuku yang sudah membimbingku hingga aku berumur 24 tahun. Dimata ibu aku hanyalah gadis cengeng nan manja yang mempunyai sejuta mimpi, ialah sayap ku, ialah wanita pertama yang ku kenal, ialah permata berharga yang akan ku jaga, selamanya.

Setelah puas menyalurkan rasa haru pada ibu, aku bergantian memeluk bapak, yang sudah menjadi pelindungku selagi aku takut, yang selalu memarahiku saat aku asyik bermain dengan teman-teman disaat waktu maghrib tiba, yang selalu memelukku saat aku sedih, dan dialah laki-laki pertama yang ku cintai, laki-laki yang tak pernah membuat goresan secuil pun pada hatiku, sungguh, aku sangat menyayangi nya.

Dan yang terakhir aku memeluk adikku, kami menangis dalam pelukan hangat yang akan kami rindukan nanti, mengenang semua kenangan yang sudah terpatri dalam memori kami, masa kecil kami yang sederhana, kebahagiaan, canda, tawa, dan solidaritas berbagi terngiang kembali dalam benak kami, menambah kesan haru dalam perpisahan ini. Walaupun ia sudah berusia 21 tahun di mata ku ia tetaplah gadis manja yang selalu mengalah demi kebahagiaan kakak nya ini. Sungguh dialah teman berantem dan teman berbagi ku.

Aku akan sangat-sangat kehilangan mereka.

Aku menikah bukan sepenuhnya murni keinginan ku, ini adalah amanat dari almarhum kakek. Yang menyuruh ku menikah dengan salah satu anggota keluarga Adipta, yang tidak lain adalah putra ke-4 dari bapak Hendra Adipta, pengusaha kaya di kota ini. Sedangkan aku? aku hanyalah seorang gadis biasa, dari keluarga sederhana.

Menurutku sudah saatnya kini aku mengabdi untuknya, berbagi suka duka dengan teman baruku, teman hidupku, iya. Dia. Salim Adipta, suamiku.

"Udah deh, nangis-nangis nya, kita ke depan yuk! calon mempelai nya udah datang" ucap ibu menghentikan suasana haru biru di kamarku

"Bapak sama Syira duluan ya, biar kamu diantar ibumu" pesan bapak yang dibalas anggukan olehku.

Setelah bapak keluar, aku kembali memeluk ibu, rasanya berat untuk meninggalkan keluarga ini, terutama ibu, malaikatku.

"Udah, udah, jangan nangis. Ibu titip sesuatu buat Za boleh?" suara ibu terdengar lirih dan… cukup membuatku menambah isakan. Aku mengangguk dalam pelukannya

"Ibu mau Za nanti jadi istri yang berbakti sama suami, bagaimana keadaannya, bagaimana suami Za nanti, Za tetap harus berbakti ya." ibu berbisik tepat di telinga, tangannya yang lembut mengelus punggungku yang bergetar hebat dalam pelukannya

"I-iya bu… in…sya allah" dengan isakan penuh aku menjawab. Ibu melepas pelukan kami, ia tersenyum, menenangkan sekali, ia mulai menghapus bulir air mata perpisahan ini. Kemudian dia menuntunku menuju pelaminan.

Acara pernikahan ini memang tidak terlalu ramai, tidak terlalu mewah, karena itu akad dan resepsi dilaksanakan di rumah saja.

Setelah sampai di kursi pelaminan, aku duduk di samping suamiku, aku melihatnya sekilas. Rasa gugup tiba-tiba menerpaku. Keringat dingin memenuhi tangan dan dahiku. Ketika akad itu diucapkan, hatiku bergetar.

"Saya nikahkan anda, Salim Adipta dengan putri saya, Zahara Nania Putri dengan mas kawin seperangkat alat shalat dan emas sebesar 10gram dibayar tunai!"

"Saya terima nikah dan kawinnya Zahara Nania Putri dengan mas kawin tersebut dibayar tunai" Salim, suamiku. Mengucapkan itu dengan satu kali helaan nafas, sangat lancar. Aku bersyukur sekali, walaupun pernikahan ini dilandasi perjodohan, aku harap tidak menutup kemungkinan untuk kami saling mencintai satu sama lain. Aku harap begitu.

"Sah?"

"Sah" ucap para tamu dan keluarga.

"Alhamdulillah" tak lama penghulu membacakan do'a untuk kami. Selesai do'a, seperti pengantin pada umumnya, aku menyalami tangan Salim untuk pertama kali, dan untuk pertama kalinya juga aku dapat melihat dengan jelas wajahnya. Terlihat aura tegas dari rahang, dan matanya. Ditambah kulit putih dan hidung mancungnya membuat para kaum hawa terpesona, terutama aku.

Ia mencium keningku, tidak lama memang, dan rasa itu, aku tidak bisa menjelaskan bagaimana rasanya, yang jelas, rasa itu masih abu-abu. Seperti kisahku dengannya. Abu-abu.

***

Fix! Inisih aku revisi lagii. Karena alur sama cerita yang kemarin ganyambung parah 😭

Pokoknya di cerita ini, inshaa allah aku bikin yang maksimal, supaya kalian puas dengan cerita baru ini. Dan maaf kalau masih banyak kesalahannya, karena aku masih belajar huhu maklumi yaa. Kalau ada yang salah penulisan/kata-kata nya komen aja, kita saling mengingatkan disini ❤

Jazakumullah khairan 💫

Z A H A R A Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang