Bab 4. Perang dingin.

38 2 0
                                    

Aku tau, aku salah. Maka dari itu, maafkan aku. Jangan seperti ini, kita seperti dua insan yang tidak saling mengenal, tapi tinggal dalam satu atap yang sama.

***

Tepat sudah seminggu sejak insiden hari itu Za dan Salim pisah kamar. Hari itu Salim benar-benar marah pada Za, hingga dia memutuskan sesuatu yang s membuat hati Za semakin terkikis.

Setelah merasa tenang, Za kembali menyusul suaminya ke kamar mereka, ia berniat ingin meminta maaf pada Salim. Sesampainya di depan kamar, dengan tangan gemetar dan keraguan yang menjalar, ia membuk gagang pintu yang ternyata tidak dikunci.

Setelah masuk kamar, yang pertama dia lihat adalah suaminya yang sedang duduk di depan kaca besar kamar mereka, nampaknya ia tidak sadar jika Za masuk.

"M-m-mas" dengan suara terbata dan keterbatasan suaranya, ia memanggil suaminya.

Salim menoleh. Seketika wajahnya yang damai berubah menjadi merah padam, Za tahu itu. Tandanya Salim masih marah padanya.

"Keluar kamu! Mau apa hah?!" bentak Salim, ia mulai bangkit dari duduknya. Mengambil beberapa barang Za. Semua barang Za ia kemasi.

Za yang sedari tadi menunduk, kala melihat barang-barangnya dikemasi Salim akhirnya ia angkat suara, sambil mencoba menghentikan aksi suaminya.

"M-mas, itu barang Za mau di apain? Mas. Jangan usir aku!" Za mulai menangis lagi. Salim muak.

"Pergi dari kamar ini! Jangan pernah kamu menginjakan kaki di kamar ini lagi! Mulai sekarang, ini kamarku. Gaada lagi istilah kamar kita!" Salim mendesis. Dengan rahang yang mengeras, ia menarik paksa Za keluar kamar. Za berontak. Bagaimana bisa? Apa kata mama mertua dan ibunya bila mereka tahu ini semua?

"M-mas, kita masih bisa bicara baik-baik. Aku bakal jelasin semuanya" Za berontak, tapi naas. Ia sudah dikunci di dalam kamar tamu. Oh, lebih tepatnya kamar barunya.

Salim berteriak dari luar "aku gabutuh penjelasan apapun. Sudah jelas semuanya." setelah mengucapkan itu, Salim melanjutkan langkahnya menuju kamarnya.

Za terus menggedor-gedor pintu agar dibuka oleh suaminya. Tapi lagi-lagi nasib baik tidak berpihak padanya. Kini, ia hanya bisa menangis sambil memegangi lututnya.

Za mengingat lagi masa-masa itu. Iya, dia mengaku salah, karena tidak meminta izin pada suaminya, dan sekarang? Ia hanya bisa berandai-andai

Andai, kemarin aku izin.
Andai, kemarin aku minta bi Minah aja yang beliin obat.
Andai, kemarin hp ku bisa dihubungi. Pasti semuanya baik-baik aja.

Za menyandarkan kepalanya pada kepala kasur, matanya terpejam. Lelah sudah ia menangis. Ia saja takut melihat dirinya sendiri. Pipinya semakin tirus karena tidak nafsu makan, matanya bengkak karena setiap malam ia selalu menangis kala merasa ketakutan tidur sendiri. Ia menikmati kesunyian ini, sudah biasa. Ya. Lama-lama ia terbiasa dengan kesunyian di kamar ini. Kamar yang benar-benar terpencil, letaknya di belakang. Beruntung, kaca besar di kamar ini menghadap ke halaman belakang, jadi Za bisa melupakan sedikit masalahnya dengan melihat alam. Kamarnya tidak besar, hanya cukup almari, kasur, dan meja rias. Tak ada TV ataupun kamar mandi. Tapi ia masih bersyukur, Salim memintanya untuk tidur disini. Daripada di gudang bersama tikus dan debu.

Z A H A R A Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang