Bab 7. Inikah Salim?

44 7 0
                                    

Setelah pulang dari mall, Salim dan Za segera memasuki kamar masing-masing, rasanya tubuh mereka sudah tidak bertulang lagi. Tapi, hal itu tidak dihiraukan oleh dua insan yang sedang dilanda kasmaran. Se-lelah apapun mereka, senyuman tidak pernah lepas dari wajah penat mereka. Mereka akan menyimpan baik-baik kejadian hari ini di memori dan hati mereka masing-masing.

Setelah memasuki kamarnya, Salim segera menghujam tempat tidurnya. Rasanya tubuhnya sudah ingin bermanja-manja dengan kasur tercinta. Salim tidur terlentang, matanya terpejam mengingat kejadian demi kejadian hari ini. Senyuman tak pernah pudar dari wajahnya. Ia membuka matanya, menatap langit-langit dengan pandangan menerawang, mengingat-ingat bagaimana sikapnya pada Za saat mereka baru menikah. Jauh dari kata baik. Ia selalu membuat air mata Za berderai hebat. Rasa bersalah itu semakin kuat mengekangnya. Dan karena rasa bersalah ditambah dengan rasa yang baru dikenalnya lagi setelah sekian lama, Salim berjanji akan terus membuat gadisnya tersenyum, tidak akan membiarkan setitik pun air mata keluar dari mata Indah milik gadisnya.

Ia mengingat-ingat lagi kejadian 3 bulan yang lalu, lebih tepatnya setelah acara makan malam keluarga, dan perkenalan anggota keluarga baru Adipta.

Hari itu Salim berangkat kerja seperti biasanya, betapa terkejutnya ia ketika melihat wanita yang selama ini ia nantikan hadir sedang duduk manis diruang kerjanya. Rasa itu seketika membuncah kembali, rasa rindu menyeruak masuk ke hati, rasa ingin memeluknya terlintas dalam otaknya. Namun, semua ditepis oleh Salim, mengingat betapa kejamnya wanita yang dulu ia agungkan. Wanita yang sempat mengisi ruang hatinya yang hampa.

"Mau apa kamu kesini?" ketus Salim. Jujur, hatinya ingin bersikap sebaliknya, hatinya senang bukan main kala melihat dia datang.

"Mas" wanita itu bangkit dari duduknya, mendekati Salim dengan senyum manis, dan jangan lupakan lesung pipit di kedua pipinya yang selalu membuat Salim terpesona. Tampilannya sudah berbeda dari 2 tahun yang lalu, kini tampilannya lebih anggun, karena rambut yang biasanya teruarai panjang, kini tertutup oleh hijab pashmina.

"Jangan mendekat!" lagi-lagi Salim menghadapinya dengan ketus.

"Mas. Aku rindu" ucap wanita itu, matanya kini menyiratkan kerinduan yang mendalam. Rasa bersalah tiba-tiba menyeruak kembali ke dalam hatinya.

"Bullshit!" Salim geram, ketika ia hendak mengusir wanita itu, dia menangis tersedu-sedu, membuat siapapun yang mendengarnya akan tersayat. Dan Salim mengurungkan niatnya untuk mengusir wanitanya.

"Aku… minta… maaf, atas semuanya" ucap wanita itu dengan tersendat-sendat karena isakannya.

Salim mendekat, ia segera mendekap tubuh jangkung wanita itu, sudah cukup, ia tak kuasa menahan dirinya untuk tidak memeluk wanitanya. "Jangan menangis" Salim membisikan tepat di telinga wanita itu, membuat sang wanita semakin terisak.

"Tenangkan dirimu. Aku akan menunggu sampai kau siap bercerita." entah kenapa, bahasa mereka menjadi canggung seperti ini. Seolah ada tembok tinggi yang menghadang mereka untuk kembali seperti dulu.

Setelah wanita itu tenang, barulah dia bercerita, menceritakan kemana dirinya selama ini.

"Mas, Azura minta maaf, selama ini menghilang, dan Zura ngga ada saat mas benar-benar terpuruk. Hari itu, setelah mendengar berita bahwa Eyang Adnan meninggal, Zura berniat buat terbang ke Indonesia, hari itu kantor Zura di Singapur kebetulan sedang libur, jadi Zura memutuskan untuk ke Indonesia, menenangkan mas, karena Zura tau, mas pasti terpuruk atas kepergiannya Eyang Adnan" jeda sebentar, wanita yang kerap disapa Zura itu menarik nafas dalam, guna menghilangkan gugup yang mendera. Sedangkan Salim, tangannya sudah mengepal kuat, matanya sudah menyiratkan kemarahan kala mengingat masa itu, ketika ia benar-benar ditinggal oleh orang yang benar-benar menyayanginya seumur hidup, dan saat dirinya membutuhkan sang pujaan hati untuk bersandar, namun yang ditunggu tak kunjung datang.

Z A H A R A Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang