PROLOG

238 8 0
                                    

"Yo, coba cek lagi deh undangannya. Kayaknya ada beberapa kata yang mesti diganti," pinta Salma pada Rio, adik kelasnya yang bernama asli Supriono.

Kata orang, nama Rio dipakai karena tampangnya yang mirip Rio Haryanto. Tapi, memang benar adanya. Wajah Supriono ini sangat mirip dengan pembalap terkenal asal Solo itu. Banyak pula fansnya yang tidak terima dengan nama asli Rio. Katanya, "Nama Supriono tu gak cocok sama wajahnya!"

"Iya, kak. Nanti saya betulin lagi."

Dan satu lagi, Rio ini terkenal dengan gaya bahasanya yang formalitas. Berbeda dengan teman-temannya yang lain. Dia lebih medok, alias Jawa banget. Dia anak pindahan dari Semarang.

"Oke, aku tunggu hasilnya besok pagi," ujar Salma sebelum kembali ke ruang OSIS.

Akhir-akhir ini, Salma dan anggota OSIS lainnya sedang sibuk menyiapkan acara festival seni bulan depan. Acara besar yang diadakan OSIS satu tahun sekali. Acara ini juga dihadiri sekolah-sekolah se-Jabodetabek.

"Kak Salma, dipanggil kak Bram di ruang OSIS," kata Qonita memberitahu Salma.

"Oh, oke aku kesana!"

Salma segera menuju ruang OSIS. Saking terburu-burunya, Salma tidak sadar akan tumpahan air di depan kelas XI MIPA 4. Dia terpleset, dan dokumen-dokumen yang dibawanya terbang berhamburan karena terlepas dari tangannya.

"Eh, waketos jatoh, tuh!" seru salah satu siswi kelas XI MIPA 4.

Para siswa kelas XI MIPA 4 pun berhamburan keluar kelas. Bukanya menolong Salma, tapi malah menartawakan  Salma yang menahan sakit di pinggulnya. Memang tabiat kelas XI MIPA 4 terkenal keangkuhan dan kekejamannya.

"Eh, cupu! Lo ngapain gelesotan di situ? Mau jadi suster ngesot berjilbab, lo?" cibir salah satu siswi yang tidak asing wajahnya di hadapan Salma disusul tawa oleh yang lainnya.

Lea Adiraja. Anak pemilik yayasan sekolah ini. Memang kelas XI MIPA 4 ini kelasnya anak jutawan. Karenanya-lah, kelas ini menjadi kelas yang ditakuti oleh kelas-kelas lainnya.

"Lo nggak pa-pa?"

Salma mendongak. Mendapati seorang siswa berwajah bak dewa yunani tersenyum manis padanya. Pria itu mengulurkan tangannya menawarkan bantuan.

Salma buru-buru menunduk dan mencoba berdiri sendiri. Meskipun sakit dia tetap menahan. Dia tidak mau berurusan dengan anak kelas XI MIPA 4.

"Aku nggak pa-pa," jawab Salma yang masih menunduk. Dia meringis menahan sakit.

"Lo yakin nggak pa-pa?" tanya pria itu lagi.

Salma mengangguk.

"Azzam! Lo ngapain bantuin tu suster ngesot? Nggak banget, deh!" ujar Lea sinis.

"Suka-suka gue lah mau bantuin apa nggak. Apa urusannya sama lo?"

Salma masih terdiam.

"Lo mau gue anter ke UKS?" tawar Azzam pada Salma.

"Nggak usah, makasih."

Salma pun pergi meninggalkan Azzam dan anak-anak kelas XI MIPA 4 yang mengeluh kehilangan umpan bully-nya.

"Tu kan, apa gue bilang? Ngapain lo bantuin dia? Lo tolongin aja dia nolak," lagi-lagi Lea protes.

Azzam hanya diam dan pergi menyusul Salma yang berjalan sedikit tertatih. Dia tidak memedulikan panggilan Lea. Dia berjalan di belakang Salma tanpa sepengetahuan Salma.

"Maasyaallah, kenapa ada malaikat seganteng dia?" gumam Salma yang juga didengar oleh Azzam di belakangnya. Azzam tersenyum bangga. Dia masih diam tidak bersuara. Takut Salma tahu keberadaannya.

"Eh, tapi... kenapa dia nolongin aku, ya?  Harusnya kan dia ikut ngetawain. Aaahhh... nggak taulah! Kenapa wajah cowok itu nggak hilang-hilang, sih... Astaghfirullah, sadar dong Sal..." Salma merutuki dirinya sendiri.

 "Sal," panggil Azzam.

Salma terdiam, bingung. Dia mengira panggilan Azzam hanya halusinasi.

"Salma."

"ALLAHU AKBAR!"

Salma terkejut saat menoleh ke belakang. Dia baru menyadari bahwa suara tadi bukan ilusi. Tapi, memang suara itu suara Azzam yang berjalan di belakangnya. Salma merasa sangat malu. Pipinya memerah. Dia menunduk dalam.

"Gue anter, ya? "

Salma hanya diam. Dia terlanjur malu dengan kedatangan Azzam yang tiba-tiba.

"Lo diem, berarti iya. Ayo! "

Azzam berjalan bersisian dengan Salma. Salma memberi jarak dirinya dengan Azzam. Dia tidak mau mendapat gosip tak sedap dari siswa lain.

"Lo yakin udah nggak pa-pa?" tanya Azzam lagi.

Salma hanya mengangguk.

"Lo mau kemana? "

"Ruang OSIS," jawab Salma singkat. Sejak kejadian tadi, masih menunduk malu.

Tepat di saat mereka sampai di ruang OSIS, terlihat Bram berdiri dengan tatapan dingin. Dia menyilangkan tangannya di depan dada. Bersiap untuk mengeluarkan kata-kata tajamnya.

Bram sangat tegas dalam hal waktu. Terlambat satu menit saja, dia akan mengeluarkan kata-kata saktinya. Kata-kata yang menusuk partner yang diajaknya bicara.

"Udah jam berapa sekarang ?" kalimat pertama saat melihatku dan Azzam sampai di depan pintu.

"Maaf..."

"Kok lo yang minta maaf sih, Sal? Lo gak salah," ujar Azzam mulai emosi.

"Udah, Zam. Kamu balik aja, deh," ujar Salma dengan tatapan serius.

Azzam masih berdiri di sana, menatap Bram dingin.

"Azzam, ayo dong! Kamu balik aja ke kelas kamu," Salma memohon. Dia takut dengan kehadiran Azzam, emosi Bram semakin menjadi-jadi.

Azzam menarik napas.

"Awas lo macem-macem sama dia!" ancam Azzam kepada Bram, sebelum akhirnya dia pergi meninggalkan Salma.
   
~

Mimpi-mimpi SalmaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang