OBSECRO: 20

3.4K 720 72
                                    

Bisa dibilang kesehatan Luna belum sepenuhnya pulih, tubuhnya memang sehat, namun hati dan pikiran masih sangat rapuh. Ibarat bayi, segala tentangnya masih sangat sensitif, salah sentuh sedikit saja bisa fatal nantinya.

Setelah berkata demikian, dengan amat sangat terpaksa Kyungsoo dan Hye Ri harus keluar. Atau Leyo akan mengamuk jika itu tidak terjadi.

Jika Hye Ri ingin cepat-cepat pergi, maka berbanding terbalik dengan Kyungsoo. Ia hanya ingin di sana. Menemani dalam masa sulitnya. Dan bukan melihat Luna memeluk pria selain dirinya.

Langkah Kyungsoo terlampau pelit kala keluar dari kamar pasien yang tak lain adalah isrtinya sendiri.

"Aku lelah," keluh Hye Ri tak tahu diri. "Aku ingin tidur."

Kyungsoo sama sekali tidak mengindahkan perkataan wanita itu, matanya masih memandang kosong jalanan luar rumah sakit dengan asumsi hati di luar dugaan.

Tidak, tidak, bukan begini, harusnya bukan begini! Geram Kyungsoo pada diri sendiri.

Semua yang terjadi masih di luar perhitungan yang telah Kyungsoo akuratkan, malah mungkin melenceng dari haluan.

Tak lama, sebuah tangan menarik tangan Kyungsoo, dan lamunannya buyar saat itu juga.

"Ayo," sajak Hye Ri ramah.

Dan Mata Bulat itu hanya bisa mengangguk tanpa tahu apa yang dilakukannya. Itu murni refleks.

ⓛⓛⓛ

Begitu pilu suara tangis yang meledak di kamar pasien bernama Loo Na Lainrae itu, sudah sekitar 20 menit dan ia masih terus saja menangis, seakan ia akan kehilangan Dunia dan segala isinya jika berhenti menangis.

Leyo masih setia menjadi apa yang Luna perlukan, apa yang ia butuhkan.

"Tak apa," ujar Leyo lemas. "Menangis saja."

Jauh di dalam hatinya, ada cambuk api yang membuat seluruh tulang pria itu bergetar saat mendegar dan melihat Luna menangis sesegukan seperti anak kecil. Sekelumit konflik terus saja mengahantui dirinya saat ini, antara perasaan bersalah karena telah mengembalikan ingatan Luna secara paksa dan menolak jika harus terus melihat Luna menangis karena ide konyol itu.

Semakin erat pelukan yang Luna ketatkan pada Leyo, dan bersamaan dengan itu. Tangisnya tak kunjung berhenti.

"Leyo," panggil Luna sesegukan.

"Ya?" sahutnya hangat.

"Aku ingin mati saja," ucap Luna tak kalah lemas dari sahutan Leyo.

"Jangan bicara seperti itu," ujar Leyo. "Tidak baik."

"Sakit," ucap Luna seadanya. Dan selanjutnya Luna kembali menangis dalam kalutnya perang batin melawan logika.

Begitu sulit ia menerima kenyataan bahwa mimpi yang hinggap di tidurnya itu tak lain adalah kenyataan yang sebenarnya, atau lebih tepatnya adalah kejadian yang sebenarnya.

"Kau mau pulang, atau ingin di sini?" tawar Leyo.

Dengan kepala yang masih menunduk diperut Leyo, Luna mengangguk. "Pulang."

"Lepas dulu," kata Leyo berusaha melepaskan tangan Luna yang masih setia membelit pinggangnya. "Aku akan membereskan pakaianmu, habis itu kita pulang."

Alih-alih menurut, Luna malah semakin kencang memeluk Leyo. Mungkin ini terlampau tidak tahu diri, dan bisa saja Luna disebut murahan. Namun persetan, ini hati, bukan mainan yang bisa semena-mena diberi lalu disakiti.

Leyo mengalah, ia kemudian kembali mengelus kepala Luna. "Kau ingat semuanya?"

"Iya," jawabnya parau.

OBSECROTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang