Tiga Belas

223 11 0
                                    

Cahaya matahari masuk melalui jendela kamar Vinta dan menyentuh kelopak mata Dira yang masih tertutup. Begitu lembut, tak mengagetkan, dan merupakan sebuah cara membangunkan yang begitu nyaman. Kehangatan menjalari wajah Dira dan membuatnya terpaksa membuka mata dengan perlahan. Ia mencoba untuk duduk namun kepalanya terasa pusing dan berat. Dira berusaha mengingat – ingat kembali apa yang terjadi padanya semalam. Namun hal pertama yang ia ingat adalah kilatan amarah pada mata Giri saat menggendongnya.

"Udah bangun, Ra ?" Vinta berdiri disisi tempat tidurnya sambil membawa segelas teh manis hangat. "Tidur kamu nyenyak banget semalam. Nih, minum dulu tehnya, Ra. Biar pusingnya berkurang," Dira menurut dan meminum teh manis yang disodorkan sahabatnya itu.

"Hahaha," suara tawa hambar Giri memecahkan keheningan. "Katanya gak akan mabuk cuma gara – gara segelas Martini, tahunya pingsan juga," lanjutnya sinis.

"Maaf," hanya itu kata yang bisa Dira ucapkan.

"Untung aja semalem kamu gak muntah, Ra. Kalo enggak kepalamu bisa terasa lebih berat dan sakit lagi. Dan tenggorokan kamu akan terasa terbakar," Giri masih saja menyindir Dira.

Dira hanya diam walaupun Giri sudah berlalu dari pintu kamar Vinta. Tidurnya tadi begitu nyenyak sehingga ia tak bermimpi apapun. Aneh, namun Dira merasa begitu lega.

"Ra," Vinta menggenggam tangan Dira lalu menatap mata sahabatnya. "Maaf ya, kalo aja kamu gak minum Martini gara – gara aku, kamu gak akan pingsan semalam," Vinta bersungguh – sungguh.

"Bukan salah kamu kok, Vin. Minum Martini itu emang kemauan aku, bukan salah kamu," Dira kembali meminum teh manis tadi. "Giri kenapa ya ? Sinis gitu."

"Dia ngamuk, Ra. Bener – bener marah," Vinta menghela nafas panjang. "Dia marah sama kita. Dia juga marah sama dirinya sendiri karena udah mengebiarin kamu minum Martini. Dia tahu harusnya kamu gak minum high alcohol."

"Marah ?"

***

GIRI mengemudikan Juke milik ayahnya dengan kecepatan tinggi. Secepat mungkin ia harus membawa Dira pulang. Rahangnya mengatup keras menahan amarah. "Harusnya kamu gak minum Martini, Vin ! Kalo kamu gak minum, dia gak akan penasaran dan nyoba minum kayak tadi !" Vinta hanya terdiam mendengar amarah adiknya. Ia mengelus kening Dira yang tertidur dipangkuannya. "Aku juga salah. Kenapa gak berusaha lebih buat larang dia minum. Aku gagal buat jaga dia," Giri memukul kemudi mobil dengan penuh emosi. Ia menekan pedal gas lebih dalam lagi.

Setelah memakirkan mobil di carport rumahnya, Giri bergegas menggendong Dira ke kamar Vinta. Dibaringkannya tubuh Dira kemudian menyelimutinya. Ia memerhatikan wajah lugu itu dengan perasaan bersalah. Giri mengelus kening Dira lalu mengecupnya lembut.

***

VINTA menceritakan kejadian semalam pada Dira namun menutupi bahwa semalam Giri mengecup kening Dira. Kondisi fisik Dira yang masih sedikit terpengaruh alkohol membuat Vinta mengurungkan niatnya untuk menceritakan segalanya pada Dira.

"Maaf kemarin aku sempet bawa kamu kebut – kebutan," Dira menunduk. "Aku ngelampiasin rasa frustasi. Kang Kendra pacaran sama Widuri 5 hari yang lalu padahal sebelumnya ngajak balikan sama aku, brengsek banget. Rasanya kayak dimainin.

"Dan kemarin waktu di jalan pulang, aku inget sama ibu aku. Aku kangen ibu, Vin. Ibu pernah bilang, cinta itu bakal bawa kebahagiaan, menyenangkan. Tapi kenapa malah sakit yang aku rasain ? Dulu aku emang bahagia sama Kang Kendra, tapi akhirnya apa yang aku terima ? Sakit hati, kecewa, dan hampir gila ! Berminggu – minggu nangisin cowok sialan itu.

"Dan sekarang, saat aku membuka hati aku untuk Aksa, dia bisa bikin aku bahagia. Dia selalu ngelakuin hal – hal kecil yang bisa bikin aku ketawa. Sebagai cowok, dia pendengar yang baik. Bisa ngasih advice walaupun dia nyebelin setengah mati. Tapi intinya aku bahagia sama dia. Tapi sekarang dia malah ngilang, gak tahu sibuk apa. Jarang ngabarin apalagi ketemu, dia gak tahu apa kalo aku kangen sama dia ? Seenggaknya ngabarin sekali atau dua kali aja. Aku ngerasain kekecewaan lagi kan akhirnya."

"Hei, emangnya kamu siapanya Aksa sampe – sampe dia harus ngabarin kamu ? Kamu bukan pacarnya," kata – kata Vinta bagai petir di pagi hari.

"Tapi kan Vin, biasanya dia suka ngabarin aku. Ya aku tahu diri, aku bukan siapa – siapa dia. Makanya aku gak nge-chat dia duluan, aku gak marah – marah sama dia."

"Ya udah, sekarang gini aja. Kalo dia emang bener suka dan nyaman sama kamu, dia pasti bakal inget dan ngabarin kamu," Vinta berusaha untuk menghindari perdebatan dengan Dira mengingat kondisinya saat ini. "Kalo jatuh cinta, jangan jauh – jauh, Ra. Karena yang dekat gak akan nyakitin," Vinta meninggalkan sahabatnya. Dira menatap bingung punggung Vinta yang kemudian hilang dibalik pintu kamar.

***

Sedekat NadiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang