Tujuh Belas

564 15 1
                                    



Hal yang terjadi pada Dira akhir – akhir ini telah menguras banyak tenaga dan pikirannya. Dira begitu lelah namun ia beruntung, Aksa selalu bisa menguatkannya. Aksa mampu mengalihkan perhatian Dira dari masalahnya, Aksa bahkan melakukan hal konyol yang dapat mempermalukan dirinya sendiri hanya agar bisa membuat Dira tertawa. Seburuk apapun mood Dira, Aksa bisa mengembalikan mood Dira menjadi ceria kembali.

Kini, Dira sedang duduk berboncengan dengan Aksa. Dira menatap punggung yang ada dihadapannya. Dira jadi teringat semua masalah yang pernah Aksa ceritakan padanya. Sa, kamu itu kuat, tapi rapuh. Terlalu banyak kesedihan yang aku lihat dari masa lalu dan masa kini kamu, dan kamu tutupi dengan rapi dengan tawa kamu. Sa, gak tahu kenapa semakin dalam aku kenal kamu, semakin aku butuh kamu. Aku ngerasa kita punya kesamaan dalam versi yang berbeda. Aku gak bisa jelasin tapi aku bisa ngerasain itu semua. Sa, bisa gak, kita terus bersama hingga Tuhan yang menentukan akhirnya ?

"Aldira..." panggil Aksa.

"Eh iya, apa ? Kok berhenti ?" tanya Dira bingung.

"Kita udah sampe, Ra. Kamu tidur apa ?" tanya Aksa sambil tertawa geli.

Dira baru menyadari bahwa mereka sudah sampai di basement sebuah café di kawasan Jl. Aceh. "Aku gak tidur ih, cuma melamun," jawab Dira. "Dikit," tambahnya. Kemudian ia segera turun dari motor Aksa dan menyerahkan helm padanya. "Kita mau ngapain sih, Sa ? Pagi – pagi freecall, nyuruh mandi terus maksa ngikut kesini," Dira mulai mengomel lagi. Sedangkan Aksa, hanya tersenyum mendengar ocehan Dira.

Mereka berdua menaiki eskalator dan kemudian memasuki café itu. Aksa berjalan di depan Dira dan menghampiri seorang wanita yang sedang duduk sendirian di salah satu sudut café. Wanita itu nampak berusia sekitar 40-an namun terlihat cantik. Aksa mencium tangan wanita itu, seakan – akan wanita itu adalah orang tuanya. Tunggu dulu, kok aneh sih ? Itu ibunya Aksa ? Masa sih ? Bukannya ibunya Aksa tinggal di Batam ?

Dira tersenyum canggung saat Aksa dan wanita itu menatap Dira yang telihat kebingungan. "Ini Dira, bun," kata Aksa.

Bun ? Bunda ?! Dira merasa panik setengah mati. Bahkan ia dapat merasakan jantungnya berdegup dengan begitu cepat. "Sa... saya Aldira," Dira pun mencium tangan wanita itu sama seperti yang Aksa lakukan tadi namun kali ini plus cium pipi kiri – kanan.

"Ayo duduk," Bunda Aksa mempersilahkan. Dira dan Aksa duduk dalam satu sofa berhadapan dengan Bu Dina. "Wah... Dira ini manis sekali, gak keliatan kayak mahasiswi loh."

"Makasih tante," Dira tersenyum dan masih berusaha mengendalikan kepanikannya.

"Mau makan apa ? Sok pesen aja dulu ya," kata Bu Dina lagi. Mereka bertiga pun memesan makanan pada seorang waiter. "Ngomong – ngomong, Dira ini adik tingkatnya Aksa kan ? Aksa udah cerita banyak tentang Dira nih," Bu Dina tersenyum.

"Iya tante. Emangnya Aksa cerita apa aja ?"

"Yah pokoknya banyak, tiap tante ke Bandung pasti aja Aksa cerita soal Dira. Aksa kalo di kampus kayak gimana sih, Ra ?"

"Aksa tuh aktivis di himpunan jurusannya tante. Jadi sok sibuk gitu, katanya sih nanti pengin jadi ketua himpunan dua tahun lagi," jawab Dira sambil melirik ke arah Aksa yang berada di sampingnya.

"Aksa sibuk beneran kok. Saking sibuknya Aksa lupa buat ngabarin, eh taunya ada yang marah loh, bun," Aksa tersenyum licik pada Dira.

"Ya iyalah marah, Sa. Nunggu kabar tuh gak enak. Bunda juga suka marah kan kalo kamu gak ngabarin bunda ?" Aksa merasa terpojok dan ia lebih memilih diam dan sibuk dengan ponselnya

Sedekat NadiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang