Mudik Libur Lebaran

85 3 1
                                    

Lebaran 2018. Seperti biasa, masyarakat Indonesia silahturami ke kampung halaman masing-masing. Termasuk diriku yang pergi ke rumah kakek di kampung. Walaupun aku non-muslim, aku hanya dapat liburan saat lebaran karena juga orang tua hanya bisa berlibur sekeluarga saat libur cuti bersama lebaran. Itung-itung juga melestarikan budaya. Untunglah saya tidak terjebak macet karena kebetulan rumah kakek cukup dekat. kami hanya terjebak beberapa kepadatan dan berikutnya lancar. Rumah kakek berada di sebuah perkampungan di  daerah Malang Selatan.

kami memilih rumah kakek sebagai tujuan libur lebaran karena sudah lama sekali kami tidak berjumpa dengan kakek dan kebetulan di dekat rumah kakek adalah sebuah perkebunan dan semacamnya yang sangat luas sehingga aku sering pergi keluar untuk menikmati pemandangan yang jarang kudapat di kota. Tak hanya diriku, aku sekeluarga suka sekali dengan pemandangan yang tidak bisa didapat di kota. Sungguh menggugah hati dan memanjakan mata seperti keseharianku melihat komputer saat sekolah.

Sesampainya di rumah kakek, saya pun menyapa kakek dengan sebutan "Gung-gung (dibaca kung-kung)". 
 "Ni Hao, Gung! (Halo, Gung!)," sapaku
"o! ni hao! guolai(oh! Halo! kemarilah!),"  jawab gung-gung.
 Setelah itu kakek memelukku dan berkata "sudah besar ya cucuku. kalau besar jadilah orang yang berbakti".  Di keluargaku kita sering menggunakan bahasa mandarin terutama ketika di rumah Gung-Gung. Kakek merupakan veteran perang saat perang shino dua di Nanking, Tiongkok. Dan karena itu juga lah kakinya hanya satu dan satunya hanya setengah dan ditopang oleh sebuah tongkat. Akan tetapi yang membuatku merasa aneh bahwa dia juga tergabung dalam perang kemerdekaan dan aku merasa kakek adalah orang tergreget sedunia.

Aku pun membuka pintu kamar dan membongkar isi tasku. Sungguh melelahkan perjalanan dari kota ke desa. Aku pun memutuskan untuk rebahan sambil membuka Hp seketika mendengar sesuatu dari luar. Karena penasaran aku pun mendekatkan diri ke jendela untuk melihat apa yang terjadi tapi sayangnya sungguh rimbun pohon di depan jendela sehingga aku tidak dapat melihat keluar. Seketika aku mendengarkan suara percakapan dari depan.

"Hai! Xiao Lang, piye kabare?" salah seorang menyapa "Apik wae" jawab Gung-Gung. Ketika aku berusaha untuk mendengarkan percakapan mereka dengan lebih jelas, tiba-tiba pintu kamarku berderik. Aku yang terkejut seketika menoleh ke belakang dan ternyata itu Mama. Dan mama pun berkata "Nyo, temennya Gung-Gung datang, bantu Mama membuat teh krisan". Aku pun mengangguk dan menuju dapur untuk memanaskan air sedangkan mama menyiapkan bunga Krisan bubuk dan daun teh untuk direbus. Teh krisan merupakan teh yang terbuat dari bunga krisan dan sebuah minuman istimewa yang biasanya disuguhkan untuk tamu atau saat upacara minum teh. Setelah jadi kami menuangkan tehnya ke dalam tea pot dan meletakannya diatas nampan, aku pun membawanya keluar. 

Di teras rumah aku melihat ada beberapa orang. Ada orang yang berlogat batak dan di sebelahnya ada orang yang memakai Kopiah dan kacamata yang medok sekali. Di seberangnya ada orang yang berkulit gelap serta ada orang yang berkulit sawo matang. Dan di sebelah Gung-gung ada orang keturunan Tionghoa. Mereka pun bersenda gurau. Sepertinya mereka sangat akrab sekali. Aku pun meletakan nampan di meja bundar di antara mereka dan tak lupa juga untuk menyapa dan mengucapkan permisi.

"Wes liat ta? Iki putuku", kata Gung-Gung membuka pembicaraan.
"Wih, tingginya cucumu! jadi inget kamu pas masih muda", kata salah seorang yang berlogat batak.
Seketika orang dengan gaya jawa timuran berkata "Aku jadi inget. kakek mu dulu nyo, haduh, lincah sekali nyo! kakekmu itu manjat dinding terus ngebrondong Jepang dari atas." 
"Ini juga, Burung Elang bisa sekali dia begal  jepang punya pesawat zero setelah itu dia ngabisin jepang punya artileri sendirian ni.", kata seorang yang berkulit gelap sembari menunjuk orang batak itu.
"kamu juga orang Belanda kamu panah!" kata orang yang berlogat Bali sambil menepuk paha orang berkulit gelap itu.

Terlintas di pikiranku saat itu, bagaimana mereka seakrab itu sedangkan saat ini banyak sekali orang rasis dan melakukan tindakan sara. Di sekolah pun sering sekali terjadi pembulian akibat sara. Karena itu juga aku merasa hal ini sudah sangat sering terjadi di lingkungan anak-anak milenial. Saat itu lah aku memberanikan diri untuk bertanya "Gung, kenapa kalian begitu akrab?"
"Karena kami merasa ini keluarga." "kami hanya sebagian kecil dulu kami banyak," kata orang yang berlogat Hokian.
"Xiao Lang, ceritakan perjuangan kita," kata orang yang medok itu
"Ayo wes!"jawab kakek"Kamu duduk sini lo gung gung seneng cerita," sambung kakek.

Gung-gung pun memejamkan matanya dan merasakan masa-masa itu. Dia merasakan hawa-hawa yang membawanya kembali ke masa lampau ketika dirinya berada di Tiongkok. Gung-gung membuka mata dan berkata "Saat itu tidak ada suara alunan musik yang kau dengarkan. Tidak ada pohon yang menghasilkan buah, tidak ada biji putih untuk kita makan."

Unsung Hero : The Birth of a NationTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang