Luger P08

16 2 0
                                    

Bagaimana mereka bisa selamat? Sebenarnya Ying Hua menembak ke lima belas tentara Jepang dari belakang dengan senapan mesin yang diambil dari salah satu tentara Jepang. Ying Hua sendirilah yang menceritakan cerita itu dan Ying Hua pun bergabung dengan pejuang pergerakan bawah tanah. Ying Hua merupakan wanita ganas. Dia mampu menembak dengan kecepatan 7 peluru per menit dengan senapan bertipe Bolt-action rifle (senapan yang harus dikokang sebelum kembali ditembakan). Bagi tim dia merupakan kartu as mereka dan sebenarnya kakek yang mengajarinya.

Suatu hari, kakek sedang membersihkan pistolnya. Pistol itu merupakan pistol yang istimewa karena pistol itu adalah pemberian komandannya saat berada di Cina sebagai penghargaan atas kenaikan pangkat kakek. "Tok tok tok," suara pilar kayu itu diketuk.
"Oh halo! Ada apa Ying Hua?," sapa kakek sambil menyembunyikan pistolnya di dalam sarung pistolnya seketika. Ying Hua yang melihat pun mengerti karena Bai Hu mengatakan bahwa pistol itu beharga.
"Apakah kita ada latihan lagi, guru?," tanya Ying Hua yang berpakaian seperti gadis desa dengan celana ketat yang panjanh. Dia bertanya dengan nada sedikit memelas.
"Ooh tentu saja ada, kemari bawa senapan ini dan juga senapanku yang ini serta tas amunisi. Kita akan latihan fisik. Oh ya satu lagi jangan panggil aku guru aku hanya seorang teman." Ying Hua pun terkekeh
Latihan ini membuat Ying Hua lelah dan kuat, tetapi tidak masalah karena Kakek menemaninya. Walaupun kaki kakek hanya setengah ia mampu mengangkat beban berat di punggungnya. Selama perjalanan mereka hanya terdiam dan tidak bicara sepatah katapun.

"Ying Hua.....," sapa kakek membuka pembicaraan.
"Iya, kenapa" jawabnya
"Mengapa kamu ingin menjadi seorang penembak runduk seperti diriku? Aku hanyalah seseorang yang ingin terbebas dari tekanan," tanya kakek. "Ya karena aku juga mempunyai mimpi untuk bebas seperti burung, kurang lebih alasanku pun sama."
Seketika kakek pun berhenti bergerak dan termanyun. "Kenapa?" "Ah! Tidak apa apa." Mereka pun melanjutkan perjalanan

Saat mereka tiba di suatu tebing yang menghadap ke markas mereka, mereka pun meletakkan barang bawaan mereka dan beristirahat beberapa menit sebelum latihan. Seperti biasa, mereka berlatih menembak dengan menembak sasaran yang berada di beberapa puncak pohon.
"Ingatlah kecepatan dan arah angin serta jarak sasaran,"ucap kakek mengingatkan.
"Dooorr," tembakan pertama dari senapan Ying Hua dan mengenai tepat di tengah target begitu pula sepuluh tembakan yang lain yang juga mengenai tepat di tengah sasaran.
"Ying Hua kamu sepertinya sudah bersiap untuk menjalankan tes terakhir rupanya," ucap kakek sambil menepuk pundak Ying Hua "Tembakanmu sangat cantik secantik wajahmu." Wajah Ying Hua memerah.

"Seperti apa tes terakhir itu?," tanya gadis itu. "Rahasia... nanti kamu juga akan tahu."

Malam harinya, Ying Hua yang tertidur dibangunkan oleh Yang Jian.
"Ying Hua, bangunlah! saat ini adalah tes terakhir mu," ucap Yang Jian.
Mereka pun berjalan ke sebuah lapangan dan melihat kakek di sana. Mereka pun tiarap agar keberadaan mereka tidak diketahui. "Kamu lihat, kan?," tanya Yang Jian. "Dia sedang apa?" tanya gadis itu gugup "kamu tahu, menurut kabar mata-mata, dia membocorkan semua informasi kita kepada Jepang jadi kamu lah yang harus membunuhnya."
"Tapi Dia adalah orang yang baik dan suka menolong," jawab gadis itu "aku pun juga berpikir demikian tapi lihatlah."

Tak lama kemudian ada salah seorang yang memakai pakaian tentara Jepang. Kakek pun memberikan sebendel berkas dan orang Jepang itu pun melihat berkas-berkas itu.
"Lihat, kan? dan posisimu sangat sesuai untuk membunuh mereka berdua sekaligus," ungkap Yang Jian.
"Tapi apa itu benar?," tanya gadis itu "iya itu benar" "tapi aku tidak mampu membunuhnya."
"kamu tidak tega itu musuhmu, musuh kita, dia membocorkan rahasia kita," ucap Yang Jian dengan nada sedikit tinggi.
"Aku tidak tega dia orang yang baik," ungkapnya sambil meneteskan air matanya.
"Apa-apaan kamu ini? dia itu musuh yang berpura -pura baik pada kita"

Ying Hua pun merasa dilema. Disamping ia menyukai kakek tapi dia juga melihat tindakan Kakek yang menghianati mereka dan harus membunuhnya. Ying Hua pun semakin mengalirkan air matanya dengan deras.
"Aku mencintainya, aku tidak bisa membunuhnya," ucap Ying Hua.
"Tapi itu musuh kita. Kamu adalah sniper, buang perasaan dan keluarkan aura membunuhmu," jawab Yang Jian "Maaf.... maafkan aku Xiao Lang,"
Sambil menarik pelatuknya dia semakin tidak tahan. Semakin dalam, semakin deras aliran air matanya dan "Dooooorrrr," suara senapan menggelegar di udara. "Xiao Lang....," jeritan Ying Hua sangat keras dan dia menangis tersedu-sedu. Dia merasa sangat bersalah karena dirinya telah membunuh orang yang dicintainya dan tidak tahu harus berbuat apa.

"Ya, ada apa? Kenapa kamu menangis?," tanya kakek yang mendekati gadis itu dan seketika membuat gadis itu berhenti menangis.
"Xiao Lang, kamu masih hidup?," tanya gadis itu "iya aku masih hidup."
"Lalu siapa yang aku tembak," tanyanya lagi.
"Itu hanyalah peluru kosong," jawab Ishiwaki yang berpakaian tentara Jepang muncul di belakang
"Itu adalah tes terakhirnya dan kamu lulus," ucap kakek. "Benarkah?," tanya gadis itu.
"Benar dan aku tidak bisa membayangkan bila itu peluru sungguhan," jawab Yang Jian.

"Dan ini untukmu." Kakek pun memberikan pistolnya kepada Ying Hua. Sebuah pistol berjenis Luger Pistole 08 dengan gagang kayu berukirkan nama Xie Ying Hua yang bertuliskan dalam tulisan mandarin. Pistol yang akan diberikan kepada mereka yang telah mencapai suatu pencapaian sebagai tanda kehormatan. Ying Hua menerima pistol itu, tetapi kakek menariknya dan bertanya "satu lagi, maukah engkau menjadi kekasihku?" Ying Hua pun mengangguk dan menerima pistol itu. Ying Hua pun menitikkan air mata dan seketika memeluk kakek.
"Aku mau, aku mau menjadi kekasihmu... aku sangat mencintaimu," ungkap Ying Hua.
Ishiwaki dan Yang Jian pun sedikit tersenyum melihat mereka berdua berpelukan.
"Sepertinya dia bisa membunuhmu mungkin....," Ungkap Ishiwaki dan diikuti tawa orang-orang di sana.

Keesokan harinya, Ying Hua melihat pistol barunya dan tersenyum melihat namanya terukir disana. Dia sungguh bahagia bahwa Xiao Lang melamarnya dan merasa perang ingin perang ini cepat berakhir dan menikahinya. Tak lama kemudian Xiao Lang masuk ke kamarnya dan memberikan sebuah kertas dan berkata "ini adalah misi kita dan tugas kita belum berakhir."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 05, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Unsung Hero : The Birth of a NationTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang