"Hana, aku berusaha mengenalmu lebih jauh, itulah tujuan dibuatnya acara ini. Tapi setiap kali aku mencoba berbicara denganmu, kau malah menghindariku, mengabaikanku. Apa kau tak menyukaiku? Apa aku membuatmu tak nyaman?"
Lagi-lagi, setiap kali Sean berbicara, jarak di antara kami semakin menghilang.
"Aku ...."
Aku kembali menelan ludah.
Memangnya aku harus menjawab apa?Apa aku harus bilang : Sean, aku tak tertarik menjadi istrimu. Aku tak peduli siapapun yang kelak kau pilih. Yang kubutuhkan adalah popularitas, itu saja.
Begitu? Apa harus bilang seperti itu padanya? Hah, bisa-bisa aku didepak di episode selanjutnya.
"Aku ... minder." Dan akhirnya itu yang kujawab.
Sean tak melepaskan pandangannya dariku hingga membuatku jengah.
"Bisa kau jelaskan maksud perkataanmu?" titahnya.
"Oke, tapi bisakah kita berbicara dengan ... posisi lain? Ini ...." Aku berdehem.
Sean menatap ke arah tubuhku sekilas, seolah baru menyadari bahwa kami kelewat intim. Maksudku, kami kelewat dekat.
"Baiklah, ayo ke kamarku," ujarnya.
Aku melotot. "Eh?" cetusku.
"Mm, maksudku. Ayo ke tempat kerjaku." Ia buru-buru meralat kalimatnya.
Pria itu terbatuk kecil lalu melepaskan pegangan tangannya kemudian mundur beberapa langkah.
Dan aku segera menarik napas pelan sambil melemaskan otot badanku yang terasa kaku.
"Maaf, aku tak bermaksud ... begitu." Ia menyentuh tengkuknya dengan satu tangan, sementara tangan yang satunya ia letakkan di pinggang.
Sekarang terlihat sekali ia nampak canggung dan salah tingkah. Seolah ia menyadari bahwa ia baru saja keceplosan bicara.
Aku mengulum senyum. Entah kenapa tingkahnya itu malah terlihat menggemaskan.
"Ke tempat kerjamu?" Aku memastikan.
Sean menggigit bibir sambil kembali menatapku.Dan dia mengangguk.
***
Ini untuk pertama kalinya aku memasuki ruang kerja Sean. Luas, dan rapi.
Ada begitu banyak tumpukan buku di mana-mana. Di rak dinding, di rak meja, bahkan di atas beberapa meja yang lain.
"Kau pasti sibuk sekali," ucapku. Sean hanya menjawab dengan senyuman sambil bergerak ke arah mini bar di sudut ruangan, lalu mengambilkan segelas minuman untukku.
"Aku tidak minum alkohol," jawabku ketika pria itu hendak menyodorkan gelas minuman ke arahku.
"Aku tahu. Ini hanya sirup, bukan minuman beralkohol," jawabnya.
Aku menerima gelas tersebut lalu duduk di kursi di samping mini bar, di mana Sean sudah duduk terlebih dahulu di sana. Aku batal menanyakan dari mana ia tahu bahwa aku tak minum alkohol.
Mungkin dari profil yang kukirimkan ke sini?
Tapi seingatku aku tak mencantumkan keterangan bahwa aku tak minum alkohol?
Ah, sudahlah.
"Kau bisa akrab dengan asisten sutradara itu. Tapi kenapa tidak denganku?" Sean membuka suara sambil menyesap pelan minuman dari gelasnya. Ia melirikku sekilas, sebelum kembali asyik memainkan gelas minuman di tangannya.
"Karena aku dan Kai bersahabat," jawabku.
"Lalu aku?" Sean seolah meminta kepastian.
Aku menyesap minumanku. Sirup rasa framboise, sederhana, tapi aku suka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sweet Home
RomanceHana Maria harus membuang jauh-jauh impiannya untuk bisa menjadi model terkemuka karena sebuah kesalahan fatal, di mana ia harus menjadi single mother di usia yang teramat muda, 20 tahun. Sempat merasa putus asa karena ia harus melahirkan sendirian...