09. But I Love You

6.6K 835 20
                                    


"Yang kau bicarakan di video itu putriku, kan? Dia putriku, kan, Hana?" Joshua mengguncang bahuku dengan kencang.

Rahangku kaku.
"Bukan," jawabku. "Dia putriku, hanya putriku seorang!"

"Jangan bohong padaku!" Lelaki itu berteriak. "Aku sudah mencari tahu tentang dirimu dan dia. Kau belum menikah dan usia anak itu pas ketika kita berpisah. Jadi kenapa waktu itu kau tak bilang bahwa kau hamil, hah?"

Aku menyentakkan tangan Joshua lalu mundur selangkah.

"Aku memberitahumu! Aku sudah berusaha memberitahumu bahwa aku hamil!" Air mataku menitik. "Aku datang ke rumahmu, bertemu ibumu, dan aku memberitahukan padanya tentang kehamilanku. Tapi ibumu bilang kau sudah berangkat ke Kanada."

"Ibuku tidak menceritakan apapun tentangmu." Lelaki itu tampak terpukul.

Aku tertawa getir.
"Sudah kuduga. Ibumu pasti tidak memberitahukan kabar itu padamu," desisku parau.

"Lalu kenapa kau tak berusaha menghubungiku?" Ia kembali berujar.

"Aku sudah melakukannya. Aku meminta nomor telponmu pada ibumu. Dan aku sudah berusaha menelponmu, ribuan kali, seperti orang gila." Suaraku tercekat. "Tapi tak ada kabar darimu. Kau tak menerima telponku, pesanku tak kau balas. Apalagi yang salah? Apalagi yang kurang? Aku sudah mencoba segala cara untuk menghubungimu!" jeritku parau. Air mataku berderaian.

Joshua menelan ludah. Ia menggeleng pedih.

"Jangan katakan kalau ibumu memberiku nomor yang salah," gumamku satir.

Bahu lelaki itu luruh. Dan aku tahu dugaanku benar.
Joshua tak menerima telpon dariku.
Ibunya sengaja memberiku nomor yang salah.

"Hana, aku minta maaf soal ibuku. Aku janji ..."

Aku kembali mundur ketika lelaki itu berusaha menggapai tubuhku.
"Jangan.sentuh.aku." Gigiku terkatub, memperingatkan.

"Hana, kumohon ..."

"Menjauhlah dariku tuan Joshua. Atau aku akan berteriak dan kau harus terpaksa mengakhiri kunjunganmu lebih awal," ancamku.

Joshua menatapku dengan tatapan putus asa. Kedua matanya berkaca-kaca. Dan akhirnya ia bergerak mundur, menjauhiku.

"Jadi dia putriku, kan?" suaranya parau.

Aku menggigit bibir, lalu mengangguk perlahan.

Dan lelaki itu meremas surai rambutnya yang kini diwarna coklat kemerahan. Terhuyung, ia menjatuhkan pantatnya di sofa. Satu-satunya sofa yang ada di ruangan itu.

"Bahkan jika kau mengetahui kenyataan ini, keadaan tetap tidak akan berubah. Kita sudah berpisah, kau meninggalkanku. Jadi dia putriku, hanya putriku seorang." Suaraku sudah lebih tenang. Kuhapus air mataku dengan jemari.

"Aku akan bertanggung jawab." Joshua kembali membuka suara.

"Tak ada yang perlu dipertanggung jawabkan. Sudah terlalu terlambat untuk melakukannya," sanggahku.

"Aku benar-benar tak tahu jika kau hamil, Hana." Lelaki itu mendesis.

"Lalu apa ada bedanya jika kau tahu lebih awal tentang kehamilanku?" Aku kembali bertanya sebal.

"Tentu saja. Aku akan segera kembali ke sini dan menemuimu."

"Lalu?"

"Menikahimu."

Aku tersenyum sinis.
"Jadi kau kembali padaku karena aku mengandung anakmu? Bukan karena kau mencintaiku?"

"Aku mencintaimu."

Sweet HomeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang