07. Let's Make Love

7.2K 840 12
                                    


Aku sudah mandi dan berganti baju ketika kulihat Sean duduk termenung di teras, menikmati hamparan danau tenang di hadapannya.

Ia juga sudah berganti baju. Kali ini dengan celana linen warna cream dipadu sweater tipis merah maroon. Kasual sekali.

"Apa ada Kano di sini?" Aku membuka suara dan berjalan mendekatinya.

Sean menoleh ke arahku.

"Kau mau jalan-jalan?" Ia menawarkan.

Aku mengangguk. Lelaki itu bangkit dengan segera.

"Kebetulan. Tadinya aku juga berencana akan mengajakmu jalan-jalan di tepian danau lalu naik perahu," ujarnya. Ia melemparkan senyum lalu bergerak menghampiriku.

Ia menggamit pundakku pelan, dan kami melangkah meninggalkan cottage menuju dermaga.

Dan sudah ada sebuah Kano di sana.

***

Kami menikmati suasana danau dengan naik Kano. Sean yang mendayung sampan dengan perlahan. Jujur, ini begitu romantis.

"Apa ini cottage pribadi?" tanyaku.

Sean mengangguk. "Resort dan cottage ini memang milik pribadi keluarga kami. Hanya untuk acara liburan privat saja," jawabnya.

"Keren." Aku manggut-manggut.

"Ngomong-ngomong, kenapa kau mau ikut acara Reality Show ini? Maksudku, kau kaya. Jika hanya sekedar mencari istri, pastinya kau bisa mendapatkannya dengan mudah, kan?" tanyaku kemudian.

"Apa sekarang adalah sesi 'bicara dari hati ke hati'?" Lelaki itu menggoda.

Aku tersenyum dan mengangkat bahu.

"Mungkin," jawabku.

Sean tersenyum, seraya terus mendayung Sampan dengan perlahan. Kami berada di tengah-tengah danau sekarang.

"Ayahku yang menyarankan." Terlihat ia tak keberatan bercerita.

"Ayahku dan pemilik stasiun tv merupakan teman baik. Mereka yang pertama kali menawarkan ide acara ini pada ayahku, dan setelah mempertimbangkan cukup matang, kami memutuskan untuk ikut ambil bagian. Lagipula, aku lajang dan sedang tidak berkencan dengan siapapun. Jadi ya, kenapa tidak?" jawabnya santai.

"Mengesampingkan resiko bahwa bisa saja calon istrimu tidak sesuai dengan kriteria ayah ibumu? Keluargamu?"

Sean terkekeh lirih.
"Ayah dan ibuku bukan tipe orang tua yang kolot. Mereka demokratis. Asal aku bahagia, mereka akan menerima apapun keputusanku."

"Keren." Lagi-lagi aku menggumam takjub.

"Kau yakin sedang tak berkencan dengan siapapun?" Aku bertanya penuh selidik.

Sean menatap langit, sesaat. Kedua matanya menyipit dengan indah. Setelah itu ia tersenyum kecut sambil mengalihkan pandangannya padaku.

"Dulu, pernah. Sekali. Aku berpacaran dengan seseorang, teman masa kecilku. Jujur dia adalah cinta pertamaku. Kami berpacaran sekitar, uhm, mungkin sembilan tahun. Tadinya aku berpikir bahwa dialah perempuan yang akan kunikahi. Sampai akhirnya ia malah menolakku ketika aku melamarnya." Pemuda itu terkekeh.

"Kau patah hati?" tanyaku spontan.

Ia kembali tersenyum kecut.

"Tadinya begitu. Semacam, hancur berkeping-keping, mungkin. Tapi setelah melalui proses memulihkan diri yang cukup panjang, sekarang aku baik-baik saja." Ia kembali tersenyum lembut.

"Pernah berpikir untuk berbaikan lagi dengan mantan pacarmu?" Dan pikiranku tertuju pada Miranda.

Sean tak segera menjawab.
"Tak ada yang bisa menebak masa depan." Akhirnya ia berkata.

Sweet HomeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang