Kai melepaskan jaketnya sendiri lantas memakaikannya padaku. Dengan sabar ia merapatkannya agar aku tak kedinginan.Aku sempat merasakan tangannya meremas bahuku dengan maksud untuk menenangkan. Dan tanpa berucap sepatah kata pun, ia menggamit pundakku lalu mengajakku masuk ke mobilnya.
Melihat diriku yang masih kacau, ia berbaik hati untuk tidak mengajakku berbicara. Ia tak bertanya apa-apa ketika kami dalam perjalanan kembali ke Sweet Home.
Bahkan ketika kami telah sampai sana, setelah ia memarkir mobilnya dan mengajakku turun, ia tetap tak bersuara.
"Terima kasih, Kai." Akhirnya aku yang berbicara duluan. Suaraku serak karena terlalu banyak menangis.
Pria itu tersenyum.
"Pergilah ke kamar untuk beristirahat. Besok kita bicara lagi," ucapnya.Aku melepaskan jaket Kai lalu menyerahkan kembali pada dirinya.
"Terima kasih," ucapku lagi. Aku berbalik.Ketika baru akan memasuki teras, reflek aku mendongak. Menatap langsung ke kamar Sean yang berada di lantai dua.
Dan aku melihatnya.
Siluet seorang pria yang tengah berdiri kaku di belakang jendela. Pendar lampu kamar yang remang-remang tetap menjadikan sosok itu bisa terlihat jelas.Membayangkan Sean berdiri di sana sembari menatap ke arahku, air mataku nyaris tumpah.
Betapa aku ingin melesat menaiki anak tangga dan berlari ke kamarnya, menemuinya, menghambur ke arahnya.
Betapa aku ingin bilang padanya bahwa aku menginginkan dirinya seutuhnya tapi ..."Ayo kuantarkan ke kamar."
Menyadari emosiku yang kembali tak terkendali, Kai berdehem, lalu cepat-cepat memeluk pundakku dan mengajakku masuk ke rumah.
Memutus kontak samar antara diriku dengan Sean.***
Setelah sampai di kamar, cepat-cepat aku mengunci pintu lalu menjatuhkan diriku di tempat tidur.
Dan aku sendirian.
Setelah menjadi 3 besar, aku, Miranda dan Irene memang tinggal di kamar terpisah.Menatap seisi kamar yang sepi, aku makin terbawa suasana. Dan akhirnya aku kembali terisak, meratap, sendirian.
Hingga berjam-jam.***
Memang aku yang meminta pulang. Memang aku yang menolak Sean.
Tapi ketika memasuki episode 15, ketika Sean menatapku dengan mata berkaca-kaca sambil berkata, "Maaf Hana, kau harus pulang."Aku seperti lilin yang terbakar, meleleh tak berdaya.
Kukira aku lebih dari siap menghadapi kenyataan ini, mengira bahwa aku baik-baik saja ketika Sean mendepakku.
Kenyataannya tidak.
Aku hancur.Terlebih ketika menyaksikan ekspresi Sean yang luar biasa terluka. Menyaksikan kristal-kristal bening di sudut matanya, seolah Ia takkan pernah rela menyuruhku pergi.
Aku seperti manusia terkutuk yang telah memanfaatkannya.
Menjerat hatinya, lalu kucampakkan dia begitu saja."Kau akan pulang." Sean kembali bersuara, serak.
Aku menelan ludah. Tiba-tiba saja dadaku sesak, aku terhuyung.
Aku sempat menyaksikan Sean bergerak dan menghambur ke arahku ketika lamban laun pandanganku kabur dan aku ambruk tak sadarkan diri.***
Aku berada di kamarku sendiri ketika membuka mata. Dan Sean ada di sana, duduk diam di sofa yang berada di dekat ranjang, tempatku terbaring.
Aku sempat merasa pening ketika mencoba bangkit."Maaf, sepertinya aku kelelahan. Kau yang membawaku kemari?" tanyaku.
Sean hanya mengangguk.
Aku menyibakkan selimut lalu menurunkan kakiku untuk selanjutnya mencari posisi duduk yang lebih sopan.
![](https://img.wattpad.com/cover/152410622-288-k681858.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Sweet Home
RomanceHana Maria harus membuang jauh-jauh impiannya untuk bisa menjadi model terkemuka karena sebuah kesalahan fatal, di mana ia harus menjadi single mother di usia yang teramat muda, 20 tahun. Sempat merasa putus asa karena ia harus melahirkan sendirian...