14. My Sweetheart (End)

7.4K 774 40
                                    

"Selamat pagi, Sayang." Bisikan lembut itu terdengar berkali-kali di dekat telingaku.
Sebuah rutinitas yang selalu dilakukan Sean untuk membangunkanku setiap paginya.

Aku mendengarnya. Namun tak terlalu buru-buru untuk bangun atau bahkan membuka mata.
Sengaja.

Aku memang sengaja melakukannya karena jika aku tak segera membuka mata, maka Sean akan---

"Selamat pagi, Sayang. Mmmuaach,"

---menciumku.

Mencium bibirku, lembut, dan berkali-kali hingga aku membuka mata.

Terkadang, ciuman di pagi hari seperti itu justru membuat kami kembali bergelung di tempat tidur, lalu melakukan aktivitas lain.

Aktivitas dewasa yang membutuhkan banyak tenaga, dan terkadang berkeringat.
"Sayang..." Dan ciuman itu kembali kuterima. Kali ini disertai gigitan kecil di ujung bibirku. Dan aku nyaris saja menjerit.

"Aku tahu kau sudah bangun. Jika kau tak segera membuka mata, aku akan bergabung bersamamu di tempat tidur. Sudah kubilang 'kan bahwa akhir-akhir ini kau begitu seksi. Dan aku tak keberatan untuk berkeringat di pagi hari," bisiknya nakal.

Dan aku menyerah. Terkekeh lirih, aku menggeliat pelan, lalu membuka mata.
Tepat ketika itu terjadi, aku segera disambut oleh senyum manis milik pria itu.

Ia berjongkok di pinggir tempat tidur, menopang dagunya di atas lengan tangan yang ia lipat di ranjang, dan menatapku lembut.
"Selamat pagi." Ia kembali menyapa dengan senyum lebar, menunjukkan deretan giginya yang rapi.

Wajahnya tampak segar. Rambutnya yang sedikit basah disisir sembarangan dengan jemari, dan aroma sabun menguar dari tubuhnya. Sepertinya ia baru saja mandi.

"Selamat pagi, Sayang," balasku. Aku mengulurkan tangan, menyentuh pipinya, dan pria itu malah mengecup ringan telapak tanganku.

"Aku sudah menyiapkan sarapan pagi. Kesukaanmu. Mau kubawakan kemari?" tawarnya.
Sean suka sekali memasak, dan jujur masakannya enak sekali. Bahkan lebih enak dari buatanku.

Aku kembali menggeliat pelan lalu menggeleng.
"Aku akan sarapan di meja makan," jawabku.

Sean mengangguk. "Baiklah, akan kutunggu di sana," ucapnya. Ia bangkit, mengecup keningku, lalu beranjak keluar kamar.

Setelah sadar sepenuhnya dari tidur, aku bangkit lalu beranjak ke kamar mandi.

Sempat membersihkan diri dengan cara kilat dan berganti baju, aku memutuskan untuk berdiri sejenak di depan jendela, sekadar merasakan terpaan sinar mentari yang menerobos ke dalam kamar dan sekarang menerpa wajahku. Pagi yang cerah, batinku. Sambil sesekali menghirup napas, menikmati segarnya udara pagi, di dekat danau.

Perhatianku teralih oleh suara celotehan dan senda gurau anak-anak yang berasal dari halaman depan rumah.
Aku melongok, dan mendapati Bi Nanny tengah asyik bermain-main dengan Lena dan Noah di ayunan.

Aku tersenyum menyaksikkan kedua bocah yang sedang asyik bermain itu.

Lena tumbuh dengan baik. Sekarang usianya sudah 7 tahun, sementara Noah, adiknya, beberapa bulan lagi ia genap 4 tahun.

Noah.

Yup, dia putraku, dengan Sean.
Beberapa tahun yang lalu, setelah membuat kekacauan di pernikahan Sean dan Miranda, dan setelah berhasil 'merebut' lelaki itu dari tangannya, tak butuh waktu lama bagi kami untuk menikah.

Kami menikah di Hawai. Sebuah pernikahan yang sakral dan sederhana, yang dihadiri orang-orang dekat.

Dan setelah itu, Sean memboyongku kemari. Ke sebuah rumah cantik di dekat danau. Ya, danau buatan yang dulu sempat kami gunakan untuk tempat berkencan.
Awalnya ia berniat membawaku pulang ke Sweet Home tapi aku menolak.

Sweet HomeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang