Pernahkah kau merasa seperti sudah mengalami kejadian yang baru saja terjadi? Deja vu? Kurasa seperti itu orang-orang menyebutnya belakangan ini. Dan aku hampir mati tertawa saat mereka berkata hal itu berkaitan dengan kekuatan supranatural. Ha!
No, Dude!
Absolutely not.
Perlu kuberitahukan sesuatu, segala hal tentang memori ada di dalam tengkorakmu, pada lobus frontal lebih tepatnya. Bagaimana aku tahu padahal peringkat sekolahku selalu menjadi pertama pada urutan terakhir? Tentu saja dari kakakku yang jenius. Sayangnya dia gila, juga ... seorang kriminal.
Tiga bulan terakhir ini banyak sekali bocah-bocah yang masuk rumah. Awalnya kukira Kakak sedang melakukan kegiatan sosial yang berkaitan dengan fakultas psikologinya tentang perkembangan mental anak. Namun akhirnya kusadari beberapa hal. Pertama, tentang maraknya penculikan di kota baru-baru ini. Kedua, tumpukan hasil eeg dan scan otak di atas meja belajarnya. Selanjutnya, buku lama Ayah tentang bedah saraf dan kepala yang berusaha ia sembunyikan di bawah ranjang. Empat, bau busuk di gudang belakang dan noda darah yang menempel di setiap baju Kakak sewaktu aku mencucinya. Terakhir, hal yang benar-benar membuatku merinding, adalah fakta bahwa anak-anak yang masuk tak pernah aku melihat mereka keluar.
Saat itulah aku sadar secara insting, something crazy happen. Crazy and bad.
Tapi seperti biasa, orang sepertiku terlalu takut untuk bertanya langsung, melapor, apalagi melawan.
***
Berita buruk! Hampir seluruh anak kecil di kota menghilang! Yang tersisa kini bahkan tidak diperbolehkan orang tuanya untuk pergi sekolah. Lampu merah-biru dari mobil polisi nyaris tiap dua jam melintas dalam bingkai jendelaku malam harinya.Kakakku kehilangan mangsa.
Secara detail aku memang tidak tahu apa yang dia lakukan. Namun besar kemungkinan Kakak sedang mengadakan eksperimen yang sedang melibatkan otak, saraf, serta operasi skala besar yang alat-alatnya adalah hasil curian.
"Hei, Dek! Bagaimana PR-nya? Bisa tidak? Kalau mau biar Kakak yang mengerjakannya." Pernyataan tiba-tiba itu membuatku tersentak dan secara tidak langsung dapat menyebabkan gegar otak karena terantuk meja.
Kilat aneh pada manik matanya membuatku sedikit gentar. Ketakutan menjadi alasan lain keluarnya keringat dingin pada keningku selain lelah dan lapar. Dan nampaknya dia sadar. Seringai Kakak lebih lebar. Semakin dia mendekat, makin aku berusaha untuk menjauh dengan bergeser di atas karpet yang sudah kasar.
Hingga akhirnya dia berjongkok, kira-kira satu meter dari tempatku berada. Sebagian poni panjangnya menggantung indah di sisi kanan saat ia menelengkan kepala . "Wajah baik" yang Kakak pasang mengalirkan serangan dingin pada tulang belakang. Setengah sadar ketika aku menelan ludah dari mulut yang kering saat dia tertawa.
"Kenapa takut?"
Tangan yang selama ini dia sembunyikan di balik punggung terangkat cepat, lalu ... gelap pekat.
***
Mungkin beberapa jam aku tidak sadarkan diri, tapi begitu bangun tahu-tahu keadaanku sudah terbaring lemah di atas meja besi dingin, terikat, dan setengah telanjang. Disorientasi yang kualami perlahan terkikis kemudian menguak sosok Kakak dengan baju operasi serta masker yang terpasang. Hingga akhirnya adrenalinku sudah tidak dapat menutupi rasa sakit saat hal itu menyerang.Sial, setiap kalimat permohonan dan umpatan terperangkap dalam mulut karena selotip di bibirku. Aku ingin Kakak berhenti untuk kali ini saja, tolong!
"Eh, sudah bangun? Seharusnya kau tidur saja terus." Alat pencukur rambut yang ada di tangannya berdesing-desing menakutkan. Tanpa sedikitpun melirikku lebih lanjut, dia berjalan ke belakang. Yang kutahu, aku sedang dibotaki, tali yang mengekang leher dan dua batang besi di samping pipi menyebabkan keterbatasan kepalaku untuk melakukan pergerakan.
Lima menit selanjutnya Kakak selesai. "Dek, jangan marah ya, tapi Kakak sepertinya sudah kehabisan anestesi," ucap wanita yang lebih tua dariku itu dengan entengnya.
Otak sudah berhenti berpikir saat itu juga. Benar-benar mimpi buruk. Aku tidak tahu hal apa yang Kakak dendamkan padaku. Pastinya, ia berubah semenjak kedua orang tua kami terbunuh.
"Oke, mari kita mulai saja kranotomi-nya." Bahkan aku tidak tahu arti dari istilah dokter yang ia sebut, tapi jelas kata "kranotomi" membuatku mual dan ingin pingsan seketika itu juga.
Denting besi sibuk di samping kanan. Detik selanjutnya, lolongan sakitku berubah menjadi gumaman tidak jelas saat kulit kepalaku disayat. "Tenang," suara yang lembut itu tidak cukup untuk mengurangi perih yang menyengat.
"Berhubung kamu Adikku, kuberitahu sesuatu ya? Kalau operasi ini berhasil, skripsi Kakak akan dapat A plus loh, ditambah lagi kamu bakalan tahu semua kemungkinan masa depan! Woah! Hebat ya Kakakmu ini!" ungkapnya antusias, masih dengan kegiatan mengiris kepalaku.
"Kamu lihat di sini?" Kakak menunjukkan sebuah scan otak di hadapan, menunjuk suatu daerah di atas gambar tersebut, tapi fokusku tertuju pada lembaran kulit penuh darah yang lupa ia letakkan. Itu ... bagian dariku?
Seluruh tubuh membeku, tangisku pecah. Satu alis Kakakku terangkat heran ketika matanya bertemu dengan pandangan ngeri yang kutujukan padanya. Sebatas itu saja respon wanita tersebut, lalu ia melanjutkan penjelasannya yang tertunda, "Itu bagian lobus frontal yang digunakan untuk menyimpan memori, tapi Kakak punya teori yang hampir terbukti! Kamu tahu de javu, kan? Bagaimana kalau setiap kejadian dari hidup hingga mati seseorang sebenarnya sudah dalam ingatannya?" Mata coklat yang persis denganku sekarang berbinar-binar.
Untuk beberapa detik ia menghilang untuk mengambil sesuatu, begitu kembali, terasa aku ingin mati saja saat itu juga. Aku tidak pernah ingat seorang dokter pernah punya alat seperti itu, bentuknya seperti pemotong kayu listrik, hanya saja dengan ukuran segenggam tangan orang dewasa. Jika pun bisa, mungkin aku sudah memerintahkan jantung untuk berhenti berdetak, nyatanya organ itu berpacu gila-gilaan dalam dada.
Penolakan dan pemberontakanku malah membuat sakit pada kepala membrutal tak karuan. Apa yang akan dia lakukan dengan gergaji itu?! Sialan!
"Lalu Kakak berpikir tentang bagaimana membuka "segel ingatan" itu," dia membentuk tanda kutip dengan empat jarinya yang terbungkus sarung tangan, "akhirnya kutemukan!"
Dia mencabut sebuah foto yang sedari tadi menempel pada lampu operasi di atasku. "Lihat!" Terdapat lingkaran merah kecil dari spidol dalam foto otak seseorang yang sudah di-zoom ratusan kali tersebut. Namun bagaimana aku bisa fokus pada hal itu saat kesadaranku saja dalam ambang kegilaan dan kesakitan?
"Kakak menyebutnya "The Key", apabila berhasil dicabut, kamu akan jadi satu-satunya orang yang secara pasti tahu apa yang terjadi di masa depan."
Pemotong mini itu menyala. Kurasakan jantungku yang seolah naik menuju kerongkongan, degupnya yang tidak teratur dan sangat cepat terdengar jelas di telinga.
Dan setelah tiga detik alat mengerikan itu menyentuh kepala, aku jatuh pingsan. Entah karena terlalu ketakutan, kesakitan atau sudah tidak peduli dengan nyawa. Yang jelas aku ingin ini segera berakhir. Hasilnya? Terserah hidup atau mati! I don't give a sh*t.
***
Kakak berhasil.Benar, si jenius gila itu membuatku bisa melihat segala kemungkinan masa depan.
Tidak percaya? Tunggu sampai tanggal 20 Februari 2020, kau akan binasa, lebih tepatnya seluruh manusia akan mati seketika itu juga.
Dan omong-omong, jika kau bertanya tentang kabar Kakakku, dia baik-baik saja. Ya, tidak ada yang terjadi dalam penguburannya.
Hanya saja pihak pemakaman dan polisi sempat kesulitan untuk menemukan sisa-sisa tubuh wanita itu dalam rumah seorang psikopat yang sama tidak warasnya dengan Kakak.
Kau tahu? Sepertinya melihat semua kemungkinan masa depan enak juga.
Kau bisa menggantikan posisi kematianmu dengan orang lain. Contohnya Kakakku.
Bukan tanpa alasan aku menyuruh dia untuk mengambilkan HP-ku yang tertinggal di sekolah dengan pura-pura sakit padahal aku baik-baik saja, karena bukan tanpa alasan pula aku bisa memprediksi seorang buronan gila yang akan menculikku pada hari itu.
Memangnya siapa yang membuatku begini? Kakakku sendiri, kan?
Tamat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nightmare Viruses
HorrorSaat semua begitu ... abu-abu dan menakutkan. Mereka ada. Mereka selalu ada.