ANGEL - 26

5K 255 1
                                    

Alvaro yang sedari tadi berjalan mondar-mandir di depannya pun membuat Sherly berdecak pelan. "Ngapain sih lo Bang! Ya ampun, udah kayak setrikaan aja."


Alvaro menoleh sekilas, masih dengan berjalan ke sana ke mari. Sebelah tangannya menggenggam smartphone yang sesekali ia lihat.

Begitu napasnya sudah terengah-engah karena lelah berbolak-balik, akhirnya ... Alvaro pun mendudukan tubuhnya di samping sang adik yang masih anteng dengan keripik singkongnya.

"Ly," ucapnya pelan yang bahkan tak mampu mengalihkan perhatian adiknya dari layar kaca yang menyala di depannya.

"Sherly!" ucap Varo dengan sedikit menaikan nada bicaranya yang mau tak mau membuat adiknya menoleh dengan malas. "Apaan sih maen teriak-teriak aja, gue nggak budek kali."

"Sandra nggak bales pesan gue, gue telpon malah dia reject, bahkan sekarang handphonenya aja nggak aktif," keluhnya, satu tangannya menumpu dagu.

Seketika, Sherly yang masih asyik dengan keripik singkongnya pun berhenti mengunyah. Membalikan badannya sehingga menghadap sang kakak yang terlihat lesu. "Bang," ucapnya pelan tapi mampu mengalihkan perhatian kakaknya yang sedang menatap nanar layar handphonenya.

Alvaro mengangkat dagunya seolah berkata ’ada apa?’

Sherly berdehem pelan sebelum mengatakan apa yang sejak kemarin memenuhi pikirannya.

"Kenapa sih?" tanya Alvaro yang penasaran dengan tingkah adiknya.

"Sandra tahu," gumam Sherly dengan kepala menunduk.

Sedangkan di tempatnya, Alvaro menaikan sebelah alisnya merasa tak mengerti dengan arah pembicaraan sang adik. "Maksud lo?"

"Kak Feli."

"Ha? Veli?"

Sherly menggelengkan kepalanya. "Feli, not Veli."

"Jangan bercanda!"

"Gue nggak tahu dia tahu dari siapa, cuma dia tahu kalo lo punya mantan yang udah meninggal."

"Gue nggak punya mantan yang udah meninggal, gue cuma pernah ditinggalin kekasih gue," tegas Varo lirih.

"Lo harus jelasin sama Sandra Bang! Dia salah paham, dia bilang lo cuma jadiin dia pelampiasan."

"Kalo dia sayang sama gue, dia pasti percaya kalo gue nggak pernah jadiin dia pelampiasan."

Sherly mengusap wajahnya dengan kasar kemudian berdecih pelan. "Kalian childish banget tahu nggak!"

Sherly menggelengkan kepalanya sebelum dia beranjak meninggalkan kakaknya sendirian. Dia tak habis pikir, kenapa keduanya egois?
Alvaro itu egois, begitupun dengan Sandra.

"Kalau begini caranya, sampai kapan pun juga masalah kalian nggak bakalan kelar," ucap Lyly sebelum benar-benar hilang dari pandangan Varo.

Di tempatnya, Varo tersenyum miris. Apakah dia harus merasakan kehilangan, lagi?

---

Dera dan Zio yang melihat wajah suram temannya pun bertanya, "Kenapa sih lo?" tanyanya dengan logat bicara seorang wanita yang selalu muncul di iklan layar kaca. Bedanya, jika di iklan kata-katanya adalah ’siapa sih lo?’ kalau mereka beda.

"Apaaan sih, garing bener," ucap Varo dengan datar.

Kini ketiganya sedang berada di halaman belakang rumah Zio, memandang kolam renang luas yang bernuansa biru.

Sesekali Alvaro menghembuskan napasnya dengan kasar membuat kedua temannya keheranan sendiri.

"Kenapa sih? Lagi ada masalah?" tanya Zio yang sedari tadi memperhatikan gelagat sahabatnya yang duduk di depannya itu.

"Rasanya gue mau mati," gumam Varo.

"Bahasanya elah, pengen mati. Udah punya bekal berapa banyak lo?"

Dera tertawa menanggapi. "Cerita sama kita Var."

Alvaro menggelengkan kepalanya. "Entahlah, gue pusing."

"Kenapa emang?"

Dera mengangguk. "Iya, lo kenapa?"

"Sandra. Dia udah tahu soal Feli, dan dia nganggap kalo gue tuh cuma jadiin pelampiasan doang. Padahal mana ada! Gue tuh sayang sama dia tulus kali. Gue udah cape main-main terus. Ditinggalin itu nggak enak rasanya, dan gue pun nggak pengen nyakitin hati orang mulu."

"Terus, lo udah jelasin semuanya sama Sandra kan?" tanya Dera yang dibalas gelengan kepala oleh Varo. "Harusnya, kalo dia sayang sama gue ... dia bakalan percaya kalo gue nggak pernah jadiin dia pelampiasan."

Zio berdecih pelan. Laki-laki dan kegengsiannya. "Jangan bodoh lo!"

"Saran gue, lo temuin Sandra dan jelasin semuanya sama dia. Kepercayaan itu sangat penting dalam menjalani hubungan man! Gue emang setuju sih sama ucapan lo ’kalo sayang pasti percaya’, cuma kalo ceritanya gini ... jangan egoislah. Lo cinta kan sama dia?"

Alvaro mengangguk. "Iyalah."

"Yaudah, lakuin saran si Zio Var, nggak ada salahnya kali. Lo cuma jelasin sama dia, dan untuk masalah dia mau percaya sama lo atau enggak sih bukan masalah lo. Cuma gue rasa, Sandra bakalan percaya sama lo. Gue lihat, dia juga sayang sama lo Var."

"Kalian itu saling cinta, cuma kebanyakan gengsinya. Jadi, ya gitu."

Dera menepuk pundak temannya. "Yang lalu biarlah berlalu, Feli nggak bakalan sedih kalo lo punya pacar lagi ... apalagi sebaik Sandra. Lo tuh harus menatap masa depan. Cukup kasih doa buat Feli, Var."

"Gue nggak bakalan bisa lupain dia," gumam Varo sambil memejamkan matanya. Dia sedikit menyandarkan tubuhnya di kursi.

"Maksud Dera tuh, lo cuma harus menatap masa depan man! Kita nggak bilang kalo lo harus lupain dia. Cuma lo harus tahu diri, lo harus peka. Jangan bertindak bodoh!"

Semalaman, Varo mencerna kata-kata kedua sahabatnya. Sebagian hatinya mengatakan iya, tetapi sebagian hatinya masih bertindak sesuai apa yang egonya katakan.

"Gue harus gimana?" gumamnya. Perlahan, air mata membasahi wajah tampannya. Ia bingung, harus mengadu pada siapa disaat semua orang yang menjadi peraduannya telah meninggalkan dia seorang diri.

"Varo kangen Ma, Pa."

Tanpa Alvaro sadari, kalau adiknya berdiri di balik pintu. Hatinya sesak tak tertahan, hingga sebulir air mata pun jatuh membasahi kedua pipinya.

"You can be strong, brother," gumamnya, menghapus air matanya dengan kasar kemudian berlalu, berlari menuju kamarnya sendiri sebelum tangisnya pecah.

---

20 Juni 2018
Ekapertiwi❤

ANGELTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang