[9].Tatapan Sesaat

16 4 0
                                    

"Lingga!"

"Lingga!"

"Lingga!" seruku untuk ketiga kalinya. Tapi nihil Lingga tidak menyahutnya.

"Lili kamu bodoh atau gimana? Orang Lingga pake headset mana bisa denger Lingganya!" pikirku membodohi diriku sendiri.

Sungguh berat namun itu yang harus aku lakukan.Perlahan tanganku mulai maju dan mengarah ke pundak Lingga dan–puk.Tanganku menepuk pundak Lingga sehingga si empunyapun menolehkan kepalanya.

"Kenapa Li?" tanya Lingga yang semula tanganku bertengger di pundaknya sekarang terlepas.

"Ini..."

Aku sodorkan buku di hadapannya.

"Oh,thanks." ucapnya tanpa basa basi dari siapa?kenapa bisa di elo?atau siapa yang ngasih ini ke elo?

Hanya sebuah harapan belaka.Seharusnya aku sadar meluluhkan hatinya sedingin es tidak semudah mencairkan es batu di bawah matahari.

"Kalo gitu aku pamit pu—"ucapan ku tertunda tak kala aku mendengar seseorang meneriaki nama Lingga.

"Lingga!" serunya yang suaranya tak asing bagiku.Dia si matahari yang siap melelehkan manusia sedingin es yang berada di hadapanku ini.

Lingga jika mataharimu itu dia,jadikan aku sebagai bulanmu dikala matahari pergi meninggalkan kehangatannya.
Memberikan jejak gelapanya dan jadikan aku sebagai penerangmu dimalam yang dingin.Sehingga dirimu yang dingin tidak bertambah menjadi beku.

-Next Chapter-

Tentang RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang