[7].Don't cry

28 6 3
                                    

Setelah pulang sekolah entah mengapa aku kurang bersemangat dan itu seperti bukan diriku saja. Waktu mencium tangan ibu saja beliau langsung menanyakan- Kamu kenapa Li? Kok lemes banget. Itu lah sosok seorang ibu. Ibu akan merasa khawatir apabila terjadi perubahan yang tidak biasa dari anaknya. Bahkan aku mengatakan- Tidak apa-apa berulang kali untuk meyakinkannya.

Justru karena ucapan- Tidak apa-apa terselip sebuah makna- Sedang terjadi apa-apa. Niat hati ingin menyendiri malah ibu mendatangiku dan menawarkan segenap jiwa raganya untuk mendengarkan curhatan anaknya.

"Ibu tahu dari kata tidak apa-apa kamu itu pasti sedang terjadi apa-apa? " tanya beliau sambil menepuk selimut yang menutup semua tubuh ku.

"Lihat bahkan ini bukan termasuk kebiasaan mu. " ibu bahkan tahu kebiasaan ku setelah sepulang sekolah. Kebiasaan ku sepulang sekolah adalah mengganti seragam dengan pakaian rumahan. Setelah itu membasuh muka dan menyisir rambutku yang berantakan. Maklum pulang sekolah naik angkot rambut dan muka terkontaminasi oleh polusi.

Diriku yang sekarang bukan seperti diriku seperti biasa. Seragam masih melekat di tubuh rambut berantakan dan satu lagi mataku sembab habis menangis. Ya aku setelah pulang sekolah entah mengapa langsung meluapkan apa yang tengah aku rasakan dan aku menangis. Itu sebabnya aku menutup tubuhku dengan selimut sampai ujung kepala untuk menutup mata sembabku dari ibu.

"Kalo lagi ada masalah jangan di pendam, keluarkan saja itu akan membuatmu merasa lebih lega. " saran ibuku yang membuat ku berani menurunkan selimut yang menutup wajahku lalu menyibaknya sehingga selimut itu tidak menutup tubuh ku.

Reflek aku langsung memeluknya. "Ibu aku mau tanya sesuatu boleh? " tanyaku ragu-ragu.

"Silahkan pendengaran ibu juga masih sehat, masih bisa menampung berbagai jenis curhatan. " aku terkekeh karena ucapan ibu.

"Ibu pernah suka sama cowok waktu sma? "

"Hmm- pernah, kenapa kamu tanya itu. Ah ibu tahu pasti ini masalah cowok. Berani ya dia bisa mengubah kebiasaan anak ibu ini." tuturnya lagi membuat aku terkekeh kembali.

"Dia memang jahat bu. Dia yang udah ngrebut hati aku tanpa permisi. "

"Uh ibu dikalahin sama dia. "

"Gak- ibu perebut hatiku yang pertama setelah itu ayah dan setelah itu lagi baru dia. "

"Lalu kenapa kamu menangis? " sambil menangkup wajahku dan mengusap-usap pipiku dengan lembut.

"Dia yang aku suka lebih memilih yang lain. Aku terlalu berharap dengannya sehingga aku merasakan sakit karenanya."

"Hati kamu tidak salah dia pun juga tidak salah. Dia berhak memilih apa yang dia suka. Namun jika hati mu memang benar-benar memilih dia kenapa tidak kamu perjuangkan. Setidaknya kamu berusaha memperjuangkannya tapi jika memang dia bukan untuk mu lebih baik tinggalkan. Karena ibu tidak mau mendengar kata penyesalan dari mulutmu karena kamu tidak memperjuangkannya. " sambil menyentil bibirku.

"Karena ibu dulu memperjuangkan ayahmu dan sekarang buktinya ada dirimu- sayang. " mengecup kening lalu pergi meninggalkan kamarku.

Memperjuangkan? Perjuangkan dia? Apa aku bisa?

- Next Chapter -

Tentang RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang