Kita remaja yang sedang di mabuk asmara
Mengikat janji bersama selamanya
Hati telah terikat
Sepasang mata memikat
Melambungkan asmara
Yang selalu meminta, mengulur senja menanti datang
Sang pemilik hati
Alunan lagu hivi—remaja yang menggema di telingaku membuat diriku galau seberat-beratnya. Memang masa remaja masa yang paling Indah, masa dimana sedang mengalami pubertas dan masa dimana awal seorang remaja menyukai lawan jenisnya. Sehingga sering terjebak dalam kisah cinta monyet.
Hmm—klasik,tapi itu benar adanya. Diriku juga sedang mengalami hal itu, namun cinta monyetnya belum terealisasikan.
Sang pemilik hati telah menaruh hatinya pada yang lain. Sungguh tragis kisahku ini.
Kulihat jam dinding di kamarku dan masih mengeluarkan bunyi— tik tok tik tok. Menandakan ada kehidupan di dalamnya. Apa kabar dengan diriku ini? Masih saja tergeletak di meja belajar dengan buku paket menjadi bantal kepala.
Ku hitung waktu mundur. Satu, dua, ti—ga.
Tok tok...
"Makan Li!" seru ibu.
"Iya bu," jawabku. Sudah kebiasaan keluarga kami untuk makam malam bersama dan ibu selalu menyuruhku makan. Beliau rela ke kamarku dan menyuruhku makan, karena aku tipe cewek yang terkadang, anti makan malam. Alasannya sangat simple— takut gendut, hehe.
"Lesu banget kayaknya? Habis ngapain? Marathon lari? Marathon nonton drakor atau marathon ngejar cinta monyet?"
Baru sampai meja makan sudah di berondong serentet pertanyaan. Duh mak-emak kalo masalah cinta-cintaan ikut mulu.
"Apaan sih Bu— gak da," sergah ku.
"Fokus belajar Li— dah sma bukan anak sd lagi. Dah harus menata masa depan. Akhir sma kamu dah di suguhkan sama bayangan masa depan." kata ayah menasihatiku.
"Iya yah, insyaallah, Lili gak ninggalin kewajiban lili sebagai pelajar," ucapku sok— iyeh.
"Ayah gak asik deh, gak bisa di bawa bercanda. Bawaannya serius mulu," komentar ibu.
"Bercanda yang bagian mana?" ucap ayah sedikit horor mendengarnya.
Daripada nanti ada perang mulut dan acara makan malam jadi tidak khidmat, akhirnya aku putuskan—
"Hmm— yah, mau aku ambilin sayur kacang panjangnya?" tawarku.
"Boleh."
Sambil mengambil piring ayah yang sudah terisi nasi.
"Ibu?" ucap ibu ada nada sedih yang dibuat beliau. Duh ibuku ini cemburuan banget sih..
"Mau berapa sendok bu? Satu, dua, tiga, atau satu mangkok sekalian." tawarku ada sedikit jenaka di dalamnya. Dasar anak durjana aku ini— hehehe...
Makan malam selesai, sekarang bagian membantu ibu mencuci peralatan makan yang sudah dipakai tadi. Selepas mencuci, aku meminta ijin pada ibu untuk kembali ke kamar.
Tangan ku sudah menyentuh knop pintu, namun bel rumah berbunyi. Alhasil akulah yang harus membukanya karena jarak antara pintu rumah dengan kamar lumayan dekat.
"Wa'alaikumsalam," salam ku karena bunyi bel menyeruakkan salam.
Ku putar kunci rumah dan segera membukanya.
"Assalamualaikum."
Sedetik, dua detik, tiga detik. Aku masih mengedip-edipkan mataku, tidak percaya.
-Next Chapter-
KAMU SEDANG MEMBACA
Tentang Rasa
Short StoryIni sebuah rasa ku padamu. Sebuah rasa yang tak ingin aku rasakan. Namun hati ini? Hati ini yang memaksa ku untuk mencicipinya. Mencicipi hingga membuat rasa itu menjadi racun bagi ku. Kenapa harus hatiku yang mencicipi semuanya?? Why?? Tentang...