mengirimkan code pada Taehyung agar menghampiri Gadis itu, setidaknya kami tahu siapa namanya.
“Kau tahu nama kami?” aku mengambil inisiatif menyapa lebih dulu karena saat ini Taehyung sedang berdiri kaku di tempat dengan posisi kaki sebelah terangkat dan kaki sebelah masih berada di lantai, dia seperti kena sihir hitam penyihir jahat.
“Tentu saja. Kamu pernah gagal pentas karena tiba-tiba lupa teks, kamu mendapat nilai 100 untuk seni, kamu juga menjadi peringkat pertama karena gambar yang sangat bagus, lalu kalian berdua sangat keren saat bernyanyi di kantin kemarin.”
Gadis itu berbicara panjang lebar dan membuatku kagum, bagaimana bisa kami seterkenal itu hingga dia tahu segala yang buruk?
“Taehyung-ah, pernah memberiku tisu basah. Haha, kenangan terburuk karena disiram seember coklat. Gila banget! Untung ada kamu, Taehyung.” Terdengar gelak tawa. Taehyung merespon, tubuhnya berputar dan akhirnya berlari ke arahku.
“Ayo, kita pergi.” Taehyung menarik tanganku dan hendak menyeretku pergi namun terlihat tangan kecil milik gadis itu menahan ujung seragam Taehyung.
“Kenapa pergi? Ah, maaf ya, membicarakan keburukan kalian.”Aku lalu melepas tangan Taehyung dengan paksa, mendapatkan pandangan menerkam dari Taehyung namun aku mengabaikan itu semua dan kembali memfokuskan diri pada gadis itu.
“Tidak kok, kamu hanya menyebutkan kejelekanku, tidak untuk Taehyung tapi itu tidak masalah. Kenalkan, aku Jimin, P A R K J I M I N.”
Dia tertawa dan menyambut uluran tanganku.
“Xian Xu Lee, kalian bisa memanggilku Zian.”“Xian? Atau Zian? Atau Jian?” aku menggulang kembali ejaan namanya yang benar agar kami tidak salah memanggilnya nanti jika berpas-pasan di kantin.
“Z-I-A-N, Zulu, India, Alfa, November.”
Taehyung tertawa.
Aku dan Zian menatapnya, heran.
Lalu kami menertawakan dia.—
Ya, aku yang harus disalahkan di sini.
Karena jika aku tidak mendorongnya dan dia tidak berteriak seperti hari itu pasti mereka tidak akan pernah berkenalan, dan tidak akan pernah ada kisah penuh kesedihan seperti ini.“Jimin-ssi?” kudengar Taehyung memanggil.
“Kamu menangis? Kenapa?”Apakah aku ketahuan sedang menangis?
Aku menghapus airmataku dan beranjak dari dudukku, merasakan panas pada kedua mataku.“Taehyung, tolong aku, jangan terus bersedih seperti ini. Aku akan terus merasa bersalah, kamu, kamu harus bangkit Taehyung, harus!” aku merasa gelisah dan mondar-mandir di dekat ranjang, begitu terus sampai akhirnya lelah dan memutuskan duduk melantai menyandarkan kepala pada kusen pintu.
Taehyung bangun dan menghampirku.
“Gomampda, Jimin-ssi. Kau terbaik yang pernah aku miliki.”Kami melakukan hight five sebelum akhirnya Dia berlalu di balik pintu kamarku.
“Aku sudah membaik jadi jangan terus-terus menyalahkan dirimu. Dalam hal ini, hanya aku satu-satunya manusia yang harus disalahkan.”
Itu kalimat terakhir Taehyung, setelah itu aku tidak lagi bertemu dengannya, dia tidak muncul di dorm dan membuat kami bersembunyi di balik layar.
Berlari dari kejaran wartawan yang menanyakan perihal menghilangnya Taehyung, meski pihak kami telah mengatakan kalau Taehyung sedang berlibur ke Bali dan tidak ingin diganggu privasinya namun para wartawan itu tidak juga puas.
Mereka mendatangi studio kami, tidur di jalanan menuju dorm, dan bahkan menganggu jam makan siang kami.
Dan yang benar-benar terjadi adalah TAEHYUNG MENEMUI ZIAN.
Untuk beberapa alasan aku merasa sangat khawatir pada Taehyung. Ya, sangat!
KAMU SEDANG MEMBACA
Moonchild [COMPLETED]
FanfictionAku meletakan gangang telepon dengan lemas, bertanya pada diri sendiri bahwa apa yang sedang terjadi pada mereka? Apa mereka putus? Tidak, aku rasa mereka tidak akan bisa putus.