Kami beradu pandang dalam waktu yang lama, dan menghabiskan malam dengan bercerita setelah selesai mengobati lukaku. Zian tertidur di sampingku hingga waktu yang kami butuhkan bahkan benar-benar berhenti disaat itu.
Kami telah melakukannya.Ketakutan kami bahkan menyatu.
Airmata yang tidak bisa dibagi menjadi bagian yang satu.Kami beradu dalam dunia keindahan dengan hamparan cinta yang mengila.
Waktu kami berhenti disini.—
“APA?”
Taehyung berdiri di hadapanku dengan wajah berbinar, kami sedang melarikan diri diatap dan dia sedang memberitahukan sesuatu yang benar-benar membuatku terkejut.
“Ka-kapan kalian—”“Malam saat aku di apertemenmu.” Lagi-lagi dia berkata dengan penuh semangat, seakan sebelum itu tidak terjadi hal yang membahayakan nyawanya.
“Apa kau sudah gila? Bagaimana kalau XiuMin tahu? Kau bukan saja dipukuli tapi kau akan dihabisi dalam satu waktu.” Aku berteriak menjelaskan bahwa apa yang mereka lakukan itu salah, sangat salah.
“Jimin-ssi, tolonglah mengerti, kami hanya membutuhkan bukti dari cinta kami.”
“Tidak, Taehyung. Tidak dengan cara seperti itu, itu salah. Ya Tuhan, Taehyung.
Apa lagi ini? Kamu benar-benar akan membunuh nenekmu kalau sampai beliau tahu.”
“Jangan, Jimin. Tolong jangan beritahu mereka, aku janji akan mencari kerja begitu lulus sekolah, aku akan pergi ke Soul untuk mencari pekerjaan dan akan membawa serta Zian.”
Aku menggeleng histeris.Barusan Taehyung memberitahu kalau Zian –? Aku tidak bermimpikan? Ya Tuhan, katakan sesuatu.
Kami terdiam dalam waktu yang lama. Hingga akhirnya aku merelakan apa yang sudah terjadi dan memaafkan perbuatan gegabah Taehyung.
“Sudah tiga bulan ya?” aku menebak untuk diri sendiri dan membuat Taehyung bergumam sendiri.
“Ngomong-ngomong, kenapa Zian tidak masuk? Tadi aku mengecek kelasnya dan katanya dia tidak masuk.”
Taehyung melonjak kaget, sejurus kemudian aku ditinggal seorang diri.—
Taehyung tak lagi menelepon.
Aku berharap mobil ini bisa terbang sampai ke tempat dimana Taehyung berada namun aku tahu sampai kapanpun mobil ini tidak akan bisa terbang.Aku ingat betul, setelah hari terakhir kami diatap itu, Taehyung menjadi serpihan debu, dia terus menangis dan bersembunyi di apertemenku, merapuh seperti kertas dan terus-terus menyalahkan dirinya sendiri
.
XiuMin, kakak lelaki Zian berhasil mengetahui kalau Zian tengah hamil dan memaksa gadis malang itu mengugurkan kandungannya.Setelah itu Taehyung dan Zian seperti boneka tak bernyawa dan tak berdarah, mereka tidak bersemangat, bahkan untuk makan. 1 bulan terakhir disekolah, Zian terus dikawali pengawal membuat mereka benar-benar tersakiti, dan membuat aku merasa sangat bersalah untuk apa yang mereka alami.
Setiap pulang sekolah, apertemenku adalah persingahan Taehyung. Kami menghabiskan waktu dalam diam, makan dalam tangisan, belajar dalam lamunan, tidur dalam kesunyian.
Sejak hari itu Taehyung berubah menjadi lebih pediam, hingga suatu hari dia pulang kerumah neneknya dan memutuskan untuk bangkit, melupakan apa yang menjadi bagian dari kesakitan dirinya, melupakan bahwa dia pernah memiliki darah dalam tubuh seorang wanita.
Setelah kelulusan Zian dibawa XiuMin meninggalkan kota kami, tidak memberikan sedikit waktu bagi Taehyung untuk meminta terima kasih karena sempat memberikan dia harapan meski akhirnya pupus, namun itu menjadi bagian terindah di dalam garis hidupnya, menjadi kisah yang sulit dihalau meski nanti dia menikah dan memiliki keluarga yang mampu memberikan kebahagiaan padanya.
Taehyung hanya ingin berterima kasih karena pernah menjadi wanitanya dan bahkan sampai saat ini masih menjadi wanitanya.
Ya, wanitanya.Aku larut dalam ingatan masalalu, menangis seperti saat aku dan Taenhyung menghadapi masa-masa sulit. Kami benar-benar harus disembuhkan, luka di antara kami terlalu besar untuk bisa diobati.
Taman? Tempat yang dikunjungi Taehyung adalah Taman yang sudah tutup beberapa waktu lalu.
Aku keluar dari mobil dan berlari memasuki gerbang taman bermain itu, berharap langsung mendapati Taehyung disana, namun ternyata tak ada sahabatku itu.
Kuhubungi ponselnya namun ponsel itu tidak aktif.
Ketakutanku bertambah.
Dia ke mana lagi?
Ya Tuhan, jangan buat seorang Taehyung terluka lagi. Tolong.
Airmata itu terjatuh.Aku takut jika mereka menyakiti Taehyung lagi, kenapa dia begitu bodoh hingga ingin bertemu dengan Zian sendirian? Kenapa tidak mengajakku?
Aku berlari dalam tangisan yang memilu, mencari di mana sahabatku itu.
Jangan lagi. Dia sudah cukup merasakan kehilangan, jangan lagi saat ini Tuhan, jangan untuk Taehyung.Jam 4 pas dan Jimin belum juga sampai.
Kemana dia? Apa dia tidak ingin mendengar ceritaku? Bagaimana aku membuat XiuMin menangis dengan perkataanku, bagaimana aku memukuli XiuMin dengan tanganku sendiri karena perkataannya yang pedas pada Zian, bagaimana akhirnya dia mengaku bahwa sebenarnya membenciku hanya karena aku berasal dari rakyat biasa yang tidak memiliki harta, hanya karena dia takut aku tidak bisa menghidupi saudara perempuannya.
Bagaimana itu membuat aku menangis seperti anak kecil dihadapan semua orang, dan bagaimana seorang bocah dari lelaki lain yang menikahi Zian datang dan memelukku memberikan kehangatan yang dulu tidak aku dapatkan dari anakku, yang-yang–
Ah, sial. Aku menangis lagi.
Nah, itu dia.Jimin sedang berlari memasuki gerbang taman, dia terlihat lelah karena berlari, matanya dipenuhi airmata. Ah, maafkan aku, Sahabatmu yang selalu membuat kamu berada di posisi yang sulit.
Sesuatu terlintas di kepalaku, aku menyalakan ponsel dan mengaktifkan mode penerbangan.
Membuka notes dan menuliskan beberapa kata disana.
“4 O’Clock”Lagu untuk Jimin.
Lagu untuk kami.
Lagu untuk Zian.
Lagu untuk Putra atau Putriku.Semoga kalian bahagia.
“Hey, Moonchild!!!” aku memanggil Jimin dengan senyuman sebari melambai padanya menyuruh dia segera menghampirku.
Jimin menangis, lagi-lagi.,
“Ya, dasar, kau sendiri Moonchild!!!”
Taman itu dipenuhi suara tawa dan tangis yang kian menghilang.Mulai hari ini kami harus memaafkan masalalu dan melangkah menyambut masa depan, begitulah perkataan Jimin yang aku ingat sampai hari ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Moonchild [COMPLETED]
FanfictionAku meletakan gangang telepon dengan lemas, bertanya pada diri sendiri bahwa apa yang sedang terjadi pada mereka? Apa mereka putus? Tidak, aku rasa mereka tidak akan bisa putus.