#22. Meninggalkan Istana

3.2K 245 15
                                    


Nabastala tampak mati saat ini, ditelan dominasi gulita dan ruang kedap suara. Hanya menyisakan jangkrik bersama dengkurannya yang khas.

Malam di musim dingin selalu menjadi musuh semua orang. Angin yang menerpa seakan membawa jarum yang sanggup menusuk hingga ke tulang. Belum lagi seringai samar dalam kegelapan. Yah, meskipun yang terakhir mungkin hanya ilusi personal.

Di depan rumah sederhana sebuah bayangan mendarat dalam diam. Siluetnya terpapar sinar buram lentera di langit-langit. Namun, tidak seperti kedatangannya yang laksana debu dalam udara, sukar dideteksi, ia masuk dengan keributan. Entah disengaja atau tidak. Yang pasti aksi mendobrak pintu itu berhasil membuat sepasang makhluk di dalamnya berjengit kaget.

Yun Tian bersandar di dinding dengan kedua tangan dilipat di dada. Bertingkah tanpa dosa tanpa beban. Sepenuhnya mengabaikan tatapan tajam salah seorang diantaranya.

"Saudara, dari mana kau mendapatkan anak sialan ini?" pria berjubah biru gelap menunjuk Yun Tian menggunakan tongkatnya. Ia terlihat berusia sekitar 50 atau 60 tahunan, meskipun sebenarnya jauh lebih tua dari itu. Ia memiliki kulit kecoklatan yang mencolok dengan rambut dan jenggot putih. Sorot matanya tajam, meskipun tidak membawa aura permusuhan, itu cukup mengintimidasi.

Di seberang meja adalah seorang lelaki tua berjubah putih. Usianya tampak tak begitu jauh dengan yang satunya. Namun, helaian putih di rambutnya tidak mendominasi. Ia memancarkan aura anggun dan tenang. Guratan di wajahnya menambah kesan kaum terpelajar yang segala tindak-tanduk dalam hidupnya dipenuhi pertimbagan matang.

Ia menyesap tehnya tanpa terburu-buru kemudian membalik halaman buku di depannya dengan santai. "Kamu tahu benar dari mana beliau berasal, Saudaraku. Apakah kamu sudah terlalu bosan tinggal aman di dunia fana ini sehingga penasaran dengan hukuman langit sehingga berani menghina keluarga kekaisaran?" ia berkata tanpa mengalihkan pandangan dari bukunya.

Ya, Yun Tian adalah keluarga kekaisaran, tepatnya ia pangeran Kerajaan Qin Di. Dalam tubuhnya mengalir darah poenix nan agung. Meskipun telah meninggalkan istana bertahun-tahun lamanya, tidak ada yang bisa menolak aura kebangsawanan yang kental darinya. Ia terasa hampir seperti panglima perang yang membawa otoritas di punggung.

Ibunya, selir Yun merupakan wanita yang cantik dan berbudi luhur. Dibesarkan dalam keluarga bangsawan tingkat menengah dan sederhana, selir Yun terhindar dari intrik dan tipu muslihat para wanita dalam harem kediaman. Sehingga kepribadiannya jujur dan adil.

Bagai menemukan mutiara dalam kubangan lumpur, raja pun jatuh hati dan menjadikannya selir kesayangan. Namun, bukankah tiada akhir yang baik untuk orang yang terlalu baik?

Pria tua berjubah biru gelap mendesis, meminum anggurnya lalu mengentakkannya ke meja dengan keras. Sengaja.

Ia memandang Yun Tian intens.

Tidak ada seorang pun yang pernah melihat Pangeran ini lagi setelah hari itu. Siapa sangka rumput liar yang hendak dibasmi itu justru tumbuh semakin lebat?

"Peduli apa! Jika tidak ada yang bisa mendidiknya," ia kemudian menepuk dadanya bangga, "biar orang tua ini yang melakukannya."

Ia kemudian mengulurkan tangannya ke arah Yun Tian dengan isyarat memanggil. Yun Tian hanya meliriknya acuh tak acuh. Setelah pria itu berang dan hendak bangkit menghampirinya, barulah Yun Tian berjalan kemudian duduk di sisi pria berjubah putih.

Tidak ada yang bisa memaksa seorang pangeran melakukan sesuatu. Terlebih untuk seseorang seperti Yun Tian

"Anak kurang ajar," tiba-tiba pria berjubah biru gelap mengayunkan tongkatnya ke arah Yun Tian, hendak memberikannya pelajaran. Yun Tian menghindarinya dengan mudah. Nyaris tanpa usaha.

Princess Qi Mei Yu: Stand In LineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang