(8) : Penuh Gambar

110 22 1
                                    

"Lis, tau yang namanya Akbar Akbar itu, kan?"

Lisa melirik Dela dengan pandangan setengah aneh, "kenapa tiba-tiba ngomongin Akbar? Maksud aku, kamu kan nggak pernah pengen tau tentang orang lain yang nggak kamu kenal. Bentar bentar. Atau, kamu kenalan sama dia?"

Dela menghela napas, "kemarin dia ngantar aku pulang ke rumah."

"DEMI APA???"

"Aneh nggak, sih, tiba-tiba orang yang nggak dikenal, sok-sok kenal sampai ngantarin pulang?"

"Dan untungnya, selamat," kekeh Lisa.

"Ya, dan sepertinya hidupku bakal terancam."

"Terancam?" Dela membuat Lisa jadi setengah mati penasaran. "Jelasinnn."

"Dia ngasih aku kertas kosong yang katanya formulir, apakah aku bersedia pulang sama dia untuk beberapa hari ini apa nggak."

"WOI DEL hidupmu di ambang kematian sih," ucap Lisa teriak. "Tapi ya, kalo aku jadi kamu, aku ambil tawaran itu. Sampai Jaya pulang. Tapi, ya harus siap diliatin anak-anak lain. Secara, ini Akbar. A k b a r, akbar."

"Ah, sebenarnya aku nggak terlalu nyaman dibonceng dia," Dela mendesah. "Kamu harus tau, Lis, kalo dia tau namaku itu Juminten, bukan Dela."

Lisa tertawa keras, "gimana lagi ceritanya?"

Kemudian mereka saling bercerita hingga jam istirahat berakhir. Jika perempuan bertemu dengan perempuan untuk bercerita satu sama lain, dipastikan waktu akan terasa begitu cepat.

Kelas XI-2 kali ini diuntungkan dengan ketidakhadiran Pak Ramos--guru Sejarah Indonesia di akhir pelajaran hari ini. Tanpa meninggalkan tugas, seakan dua jam terakhir hanyalah milik XI-2. Mereka bebas melakukan apa saja, asalkan tidak ribut hingga terdengar ke kelas sebelahnya. Tak heran jika ada yang lebih memilih tidur, bermain game, dan sesi curhat-curhatan wanita. Hanya satu yang terlihat asik dengan buku--Rika Ayunanda dengan Buku Matematika tercintanya.

*ting tong*

Bel pulang berbunyi. Semuanya berseru. Bunyi yang paling membahagiakan semua murid.

Dela menyimpun buku-bukunya ke dalam tas dan bergegas keluar kelas tanpa jeda. Cepat-cepat melangkahkan kaki menuju pintu gerbang--ada harap yang ditorehkannya.

Menunggu seorang Akbar. Dela memilih untuk mengambil tawaran yang diberikan Akbar kemarin.

"Akbar!" panggilnya.

"Hei, Jumi!"

YaTuhan.. Sabarkan aku menghadapinya.

"Jadi ngantar aku pulang, kan?"

"Oh, jadi kamu nerima tawaran aku kemarin?"

Dela mengangguk.

"Formulirnya mana?"

"Kurasa hanya untuk nulis itu nggak terlalu penting deh, ada banyak PR yang harus aku kerjain semalam," ucap Dela berkilah. "Antar aku selama lima hari ini, ya? Dan, oh ya, namaku Dela. Bukan Juminten."

Akbar diam tak merespon sepatah kata pun. Ia hanya menyalakan motor--menginstruksikan Dela untuk segera naik ke motornya.

Sepanjang jalan, hanya kendaraan yang berlalu-lalang yang terdengar ramai, sedangkan di antara mereka berdua, tak ada percakapan terjadi.

...

                              Ya
                              16.00 PM
                              Read

Delapan LangkahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang