Apa kata 'Teman Hidup' merupakan bentuk kepastian kepada masa depan?
♡♡♡
Aku menatapi pelataran jalan dengan hati riang. Bagai anak kecil memang, tapi siapa peduli? Sesorang yang jatuh hati memang tidak bisa disalahkan. Karena hati telah mendorongku lebih jauh untuk menerima kesempatan berbahagia.
Dibalik kaca mobil ini, aku hanya terus memalingkan wajah, menatap ekspresiku ketika mengulum senyum. Masih cantik. Aku terkekeh geli sendiri, karena penyakitku yang lama terpendam ini kumat lagi.
Dinginnya AC mobil pun juga tak mampu mendinginkan hatiku yang masih menghangat sejak aku memutuskan bangun tidur pagi tadi.
Karena takut menyakiti Aldi dengan makanan beracun yang hampir mirip dengan sianida itu pada beberapa hari lalu. Aku memutuskan membuat sandwich saja. Makanan termudah dipikiranku. Kalau Aldi menolak karena dalih tidak berupa nasi atau sejenisnya, maka aku akan tetap menjejalkan dalam mulut Aldi. Aku kembali tertawa kecil, karena hal itu sepertinya tidak mungkin.
Mana tega, melihat pangeran kodoknya burung merpati tersedak roti yang kujejalkan.
Padahal, aku sudah membiarkan Aldi keluar masuk kamar mandi setelah makan, makanan beracun buatanku.
Waktu itu, Bu Denok memerintahkanku untuk mengambil formulir daftar ulang untuk kenaikan di Ruang Tata Usaha pada saat jam istirahat kedua. Dengan hanya ditemani Anya, aku mengambilnya. Saat membagikan separuhnya pada Anya dan pergi ke ruang guru. Tanpa sengaja, dari arah lorong aku melihat Aldi berjalan cepat dengan wajah pucat.
Dengan alasan khawatir, aku segera meletakkan kertas yang kubawa pada Anya, tanpa pamit aku segera mencari Aldi.
Aku menengok kearah kanan, ternyata Aldi sedang menyandarkan kepalanya dan tubuhnya pada dinding toilet kamar mandi guru. Nafasnya terengah, dan banyak peluh menetes di pelipisnya. Tak lupa, aku memandang tangan Aldi yang memeras erat perutnya sendiri, seakan memperingati perut itu agar tidak menyakitinya.
Jantungku berdetak kencang, bukan debaran menyenangkan itu lagi. Lebih tepatnya, debaran nyeri.
Karena aku bisa mengartikan, sakit diperutnya itu karena aku. Karena masakanku. Dan Aldi menghabiskannya. Dan itu kesalahanku.
Setelah pintu terbuka, Aldi segera memasukinya. Aku tetap mematung ditempat, membawa perasaan bersalah dan khawatir. Lalu, aku merasakan sebuah tepukan dibahuku. Aku menoleh, Anya memandangku bingung.
"Aldi kenapa?"
"Buang Air besar dalam mode air deh kayaknya." Ucapku sedih tapi terkesan melantur.
"Ha? Lo ngomong apa sih?" Tanya Anya menggaruk rambutnya.
Aku menghela nafas, "Gue racunin Aldi." Ucapku dengan sangat bersalah.
Andai saja aku tidak memenuhi permintaanya, andai saja aku lebih pintar memasak.
Baru nyatain perasaan aja, udah nyakitin.
"Lo mau bu-bunuh Aldi?" Tanya Anya tak kalah melantur. Aku berdecak, kemudian menatap Anya sabar. Mengupayakan tidak menggunakan kata-kata yang mampu memunculkan ketidakwarasannya dalam mencerna ucapan.
"Gue masakin dia nasi goreng, rasanya asin pahit parah. Eh di abisin sama dia. Geblek kan dia?" Ucapku kesal sendiri.
Aku melihat Anya terkejut, kemudian tersenyum kecil, "Aldi gentle banget ya? Kayaknya dia beneran suka sama lo."
KAMU SEDANG MEMBACA
Semu [Completed]
Novela Juvenil"Ck. Kenapa sih setiap ketemu, selalu dalam kondisi memprihatinkan?" Suara itu, cukup membuatku mendongak memperhatikan seorang pemuda yang berdiri tepat dibawah sinar rembulan, jatuh membayanginya. Meski temaram aku masih dibuat takjub melihat seny...