Jika kamu mencintai kehidupan, maka kehidupan akan mencintaimu kembali.
Sebelum itu, cintai dulu pencipta kehidupan.♡♡♡
Seperti biasa, pagi yang cerah dengan surya yang menumpahkan sinarnya. Memberikan energi tersendiri bagi kehidupan. Siapa lagi yang dapat mengatur sedemikian hebatnya kalau bukan Tuhan?
Dia, menciptakan semesta dengan alasan yang sesungguhnya hanya diketahui-Nya sendiri. Menciptakan kehidupan, menciptakan udara, bahkan menciptakan cinta dihati manusia dengan begitu mudahnya.
Menganalisis apapun yang ada, hanya Dia yang Maha tahu menahu akan kebenaran. Sayangnya, aku selalu mengecewakan-Nya.
Aku mendongak sesaat, Langit yang begitu biru terang, awan yang seputih kapas mungkin sama lembutnya atau burung-burung yang berkicau di pelataran sekolah. Aku menghela nafas lelah, kapan aku bisa menikmati hidup dengan benar.
Aku tersenyum seperti menangis, aku tertawa seperti marah. Aku menyerah seperti bertahan. Aku lelah. Begitu lelah, sampai harus berlari tanpa kaki. Seperti mencari namun dalam gelap.
Melangkah maju pun terasa semakin mundur, aku bertahan karena orang yang disayangi ada. Aku bertahan karena masih menopangkan hidupku kepada Tuhan.
Aku berjalan maju, penuh tujuan. Saat ditengah aku dihentikan, menyentuhku untuk berbalik.
"Lo dipanggil dari tadi nggak nyahut, padahal telinga masih ada."
Bahkan, aku berjalan dengan melamun, melamunkan tujuanku dan dihentikan? Itu nyatanya, aku tersadar ketika melihat mata itu. Mata Aldi.
"Eum, maaf. Nggak denger." Tiba-tiba nada suaraku berubah. Terdengar canggung. Aku tersenyum kikuk menghadapinya.
Hampir saja aku memerah, karena mengingat malam ketika dia mengantarku pulang. Malam kita menjadi teman. Hari Jumat, 21 Agustus. Malam dimana dia setuju untuk memberi coklat setiap hari Jumat.
Uh, harusnya itu tidak menjadi sesuatu yang berarti.
"Lo naik apa tadi?" Apa aku harus jujur? Apa mungkin dia bertanya seperti itu agar bisa mengantarku lagi. Sialan aku benar memerah sekarang.
"N-naik angkot." Ujarku terbata, jika tidak ada dia, pasti aku akan menghajar mulut ini.
Hening, dia hanya diam lalu tersenyum kecil. "Ya udah kalau pulang nanti hati-hati."
Setelah itu, aku sedikit menganga, oh Tuhan siapa yang mengajariku begitu percaya diri seperti ini. Hanya karena dia bertanya hari ini aku naik apa, bukan berarti dia ingin mengantarku saat pulang bukan?
Aku merutuki diri sendiri, lalu menatap ketus pada Aldi yang kini tersenyum jahil padaku. Sial, aku baru saja dikerjai olehnya.
"Nyebelin lo!" Ketusku beringsut pergi, namun untuk kesekian kalinya, jari-jari tanganku dicekal olehnya.
Termangu beberapa saat karena masih menetralkan debaran ini. Baru saja aku ingin membuka suara, namun aku terkejut karena ada tangan lain yang menarik paksa tanganku.
Aku menoleh cepat kearah orang itu yang menatapku datar. Dia lagi.
Aku masih membeku ketika dia menarik paksa tanganku. "Woyy Kunyuk, lepasin gue!" Aku menggeram sambil menancapkan kukuku ke pergelangan tangannya.
Dia masih bertahan dengan terus menyeretku sampai dilorong bawah tangga. Ketika dia tidak segera melepaskan tangan kananku, aku menjewer telinganya sekuat mungkin dengan tangan kiriku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Semu [Completed]
Teen Fiction"Ck. Kenapa sih setiap ketemu, selalu dalam kondisi memprihatinkan?" Suara itu, cukup membuatku mendongak memperhatikan seorang pemuda yang berdiri tepat dibawah sinar rembulan, jatuh membayanginya. Meski temaram aku masih dibuat takjub melihat seny...