Rain.

246 6 0
                                    

Setitik rintik hadir tak terduga menjumpai raga, tetapi kehadirannya sedang tidak menguntungkan karena jiwa ini sedang meletakkan rasa terhadap sosok semu.

Memang logika telah mengakui bahwa kesempatan ini bisa menciptakan sebuah harapan baru dalam mensinkronkan akal pikiran dengan perasaan.

Alam bawah sadar juga telah memberontak memberitahu bahwa kau sudah berjalan tanpa jeda, berbekal usaha demi mencapai tujuan menyadarkan hati yang keras kepala untuk mengerti perintah berhenti melangkah dan berharap kepada ketidak pastian.

Derasnya dentuman rasa yang diutarakan memiliki tugas menggoyahkan hati berkepala batu.

Banyak pertanyaan dibalik tanda tanya, apakah salah mencoba menerima hadirnya?

Hati kecil yang angkuh berteriak lantang kata "TIDAK!"

Engkau pun meneruskan perjuangan menyakinkan bahwa diri ini seharusnya meninggalkan zona nyaman yang kenyataannya berisikan siksaan 'kenangan'.

Mungkin, hanya masih sedikit tersisa.

Mengenai rasa itu sehingga aku sedikit berbalik dan tanpa sadar sudah menengok.

Sialnya, dia justru menyihirku dengan kenangan-kenangan yang hampir musnah.

Dan sampailah dititik menerima hadirmu, bukan dengan alasan kasihan, tetapi hati memang harus belajar arti keikhlasan.

Sialnya lagi, aku tertipu olehmu kembali.

Baru saja beberapa langkah berjalan menguntai cerita di lembaran baru bersama genggamanmu, tapi dengan mudahnya engkau melepaskan tanganmu tanpa ucapan perpisahan kejelasan.

Meninggalkanku seorang diri dalam keadaan tak tahu arah yang jelas mau berjalan kemana.

Mungkin waktu sedang tidak mendukungku, karena hari demi hari telah berlalu engkau tetap saja tidak menjawab rindu dariku.

Titik puncaknya saat kau benar-benar hilang.

Tenggelam waktu.

Seolah dunia memusnahkan dirimu dari masa laluku.

Bahkan, setitik rindu saja rasanya tak pantas ada.

Penghargaan berupa umpatan bodoh mungkin pantas disematkan kepadaku dengan gelar bertuliskan "Terjebak dirasa semu yang sama."

Apakah benar kata Dilan bahwa rindu itu berat? Tapi aku tidak percaya dengan pernyataan itu, karena di balik rasa rindu masih ada ruang untuk berjumpa walaupun hanya lewat untaian do'a.

Apakah karena kita berbeda kasta sehingga tak bisa berjumpa? Aku juga tidak berpikir sedemikian rupa, sebab, pada kenyataannya air dan minyak adalah dua hal yang tidak bisa bersatu tetapi masih bisa berdampingan.

Lalu alasan apa yang tepat untuk cerita kita? Mungkin alasan yang tepat adalah bahwa kamu itu seperti hujan dan aku sebagai pelangi. Karena hujan harus turun terlebih dahulu guna menciptakan sebuah pelangi yang indah.

Apabila kita memang ditakdirkan untuk menjadi seperti hujan dan pelangi yang ditugaskan untuk saling menunggu, Aku akan menerima kenyataan itu.

Karena aku tidak berminat menjadi malam yang menunggu senja berakhir ataupun menjadi embun pagi setelah fajar tenggelam.

Walaupun ada banyak orang yang mengatakan bahwa hujan juga penyebab musibah, tetapi aku tetap menganggap kamu adalah berkah serta anugerah yang hadir dalam hidupku.   

Terkadang kita memang harus melihat dari sudut pandang yang berbeda. Agar perbedaan itu tampak indah.

Dan yang perlu kita ingat bahwa perjuangan tidak selalu mendapatkan balasan, tetapi kita bisa mendapat yang lebih berharga berupa 'pelajaran'.

Arti dari semua ini hanya perihal 'waktu' yang mengajarkan kita apabila menunggu membosankan, lalu apakah berpindah hati itu menyenangkan?

Demikianlah, walaupun musim penghujan berakhir, aku akan tetap setia menjadi pelangi yang selalu menunggu kehadiran hujan hingga entah sampai kapan. Sebab tidak ada yang tidak mungkin selama masih ada kehendak tuhan.  

-Penulis_Cupu feat. Mentari

BISIKAN ALAMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang