Sampai kapan kamu mau seperti ini terus!??" bentakkan Ayah membuatku langsung terbangun dari tidurku.
Dengan setengah sadar, aku memperbaiki baju tidurku dan menuruni anak tangga dengan hati-hati. Kulihat Ibu dan Ayah sedang memarahi Toni yang sedang terbaring lemas di sofa panjang ruang tamu. Aku bisa mendengar jelas omelan mereka dari lantai 2. Kalaupun aku menjadi Toni, aku juga tidak tahan jika sudah diomeli saat pagi buta seperti ini. Bayangkan saja, ini masih jam 02.35 AM! Ini terlalu pagi untuk tetangga yang harus terbangun gara-gara jeritan dan bentakkan dari Ayah dan Ibu.
"Kamu hanya bisa mempermalukan keluarga ini!!" Mom menjerit histeris dan menangis terisak-isak di sebelah Ayah.
"Kenapa kamu tidak bisa menjadi seperti Li...."
"Yah!!" Toni memotong perkataan Ayah. Toni bangun dengan lemah dan berdiri setengah sadar.
"Sudah kubilang dari dulu bukan? Aku berbeda dengan Liz! Dia bisa mendapatkan apa yang dia mau! Sedangkan kalian tidak pernah memerdulikan aku sama sekali! Kalian pikir aku begini karena...." Toni tidak melanjutkan kata-katanya. Dia muntah tepat di depan Ayah dan Ibu. Mereka memandang Toni dengan jijik.
"Oke sudah cukup." Kataku setelah mengambil handuk basah di kamar mandi sebelah kamarku dan mendatangi mereka bertiga.
"Lihat kelakuan adikmu, Lisa! Semenjak dia lulus kuliah, hanya mabuk-mabukkan dan memalak orang di depan kompleks saja yang bisa dia lakukan! Pekerjaan saja dia tidak punya." Ayah menunjuk-nunjuk Toni yang telah selesai dengan muntahnya. Lisa mengelap sisa muntahan yang menempel di mulut dan baju Toni.
"Ya, aku sudah tahu dari dulu. Kalian berdua tidur saja. Biar aku yang mengurus Toni." Aku bersiap menuntun Toni untuk pergi ke kamarnya di lantai 2.
"Lisa! Kamu tidak bisa selamanya memanjakan dia!" Ibu menarik tanganku. Wajahnya merah menahan marah.
"Dan aku juga tidak bisa seperti kalian berdua yang berteriak pada pagi buta seperti ini. Apa kalian tidak sadar kalian bisa membangunkan para tetangga. Oiya, biar aku yang membersihkan lantainya." Kataku dengan tenang sambil pergi meninggalkan Ayah dan Ibu yang berdiri terdiam.
Aku membuka kamar Toni dan mendudukkannya di tepi kasur. Bau alkohol tercium sangat jelas dari mulutnya. Aku memberinya ember kecil untuk jaga-jaga kalau dia ingin muntah lagi. Aku mengambilkan pakaian ganti dan menaruh di sampingnya.
"Mau segelas air?" tanyaku yang dibalas dengan anggukan lemah.
Setelah minum, aku membantu Toni ke kamar mandi untuk mencuci muka dan mengganti pakaiannya. Setelah selesai, dia langsung membanting tubuhnya ke kasur dan aku duduk di tepi kasur.
"Sudah merasa lebih baik?"
"Ya. Thanks"
"Lebih baik sekarang kamu tidur. Tidak usah dipikirkan apa yang Ayah dan Ibu katakan tadi. Mereka hanya ingin kamu menjadi lebih baik." Kataku sambil mengusap dengan lembut kepala Toni.
"Membuatku lebih baik dengan membanding-bandingkan aku denganmu? Sangat konyol, Liz." Toni tersenyum sinis.
"Yeah, aku tahu kalau itu konyol." Kami berdua pun tersenyum.
"Okay, sekarang waktunya tidur. Aku lebih baik sekarang membersihkan lantai yang masih ada muntahanmu dan kembali ke kamarku." Aku berdiri dan pergi meninggalkan Toni.
"Liz! Setelah itu, maukah temani aku tidur malam ini?" Toni langsung menarik tanganku.
"Hah? Apa aku juga harus menyanyikan lagu Lullaby agar kamu mau tidur?"
"Kumohon, Liz. Minggu depan kamu sudah harus berangkat ke Yogyakarta. Kita akan jarang sekali bahkan bisa tidak akan pernah bertemu lagi. Kumohon." Toni memasang wajah memelas. Liz mengakui saat itu Toni terlihat manis sekali.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Perfect Bad Guy
HorrorSemenjak orangtuanya meninggal, Lisa kembali ke kotanya dan hidup bersama sang adik, Toni pria yang mapan, kaya, dan banyak disukai wanita. Tapi entah kenapa orang yang pernah dekat dengan Lisa harus berakhir mengenaskan. Apakah ini disengaja atau h...