Hari ini Toni berjanji akan memasak untuk makan malam kami dan aku bertugas untuk berbelanja bahan makanan di supermarket. Semenjak kejadian perkelahian minggu kemarin, Toni memutuskan untuk mengambil cuti hari ini. Mungkin sedikit liburan bisa membuatnya bisa mengontrol emosinya. Bayangan wajah dingin Toni masih teringat jelas di kepalaku. Hiiy!
Percayalah sampai umur 30 tahun ini aku masih belum mahir memasak. Aku hanya pintar dalam membuat cemilan seperti cake, kue kering, dan beberapa cemilan khas jepang. Toni yang lebih pintar memasak makanan berat. Entah darimana dia belajar memasak yang jelas tidak mungkin dia belajar dari Ibu. Dari aku sebelum berangkat ke Yogyakarta, Toni sangat berandalan dan sering kali bertengkar dengan Ayah dan Ibu. Aku bersyukur saat aku kembali Toni sudah banyak berubah.
Aku sedikit kesusahan mencari nama bahan yang dituliskan Toni. Antara aku tidak tahu dimana letak bahannya yang kucari atau aku tidak telaten melihat bahan-bahan yang disekitarku. Ergh! Seharusnya aku menyeret Toni juga untuk berbelanja. Ketika berdiri di bagian rak makanan dingin ada seseorang menepuk pundakku,
"Hai, sedang belanja bulanan?" Alvan menepuk pundakku.
"Oh, Hai! Ya, Toni menyuruhku berbelanja, karena hari ini dia mau memasak sesuatu. Yah mumpung dia ambil cuti hari ini. Kalau kamu?" Tanyaku sambil mengembalikan keju ke raknya semula.
"Tadi rencananya aku bersama Ayahku akan berbelanja, tapi ketika kami sampai di sini Ayahku dapat panggilan darurat ke rumah sakit jadi dia langsung pergi saat mobil jemputannya datang. Aku juga tidak tahu kami mau berbelanja apa, jadi aku hanya berkeliling sebentar dan melihatmu disini." jawabnya sambil melirik troli belanjaanku.
"Mau kubantu mencarikan bahan makanan? Sepertinya kamu kebingungan." lanjutnya.
"Tentu saja! Aku sangat berterima kasih kamu mau membantuku." Aku langsung tersenyum lebar dan memberikan catatan belanjaanku ke Alvan.
"Kamu tahu? Kamu terlihat sangat manis saat tersenyum." Alvan mengelus kepalaku dan mendorong troli. Kurasakan wajahku langsung memanas.
●●●
Alvan membawakan belanjaanku sampai di apartemenku. Aku masuk dan mencari Toni ke seluruh ruangan. Hmm.. Sepertinya dia keluar sebentar. Kunci mobilnya di gantungan dinding juga tidak ada. Aku dan Alvan menaruh belanjaan di dapur dan menyuruh Alvan duduk di ruang depan.
"Hmm.. Sepertinya Toni sedang keluar." Aku melihat ke sekeliling rumah, siapa tahu Toni meninggalkan pesan.
"Apa dia tidak menghubungimu?" Alvan menyandarkan tubuhnya ke sofa.
"Ponselku rusak gara-gara kemarin tercebur ke wastafel. Kukira Toni meninggalkan catatan atau sejenisnya. Tapi sepertinya tidak ada catatan sama sekali." Aku bergabung dengan Alvan di sofa setelah yakin tidak ada satu pesan yang ditinggalkan Toni. Sedikit hilang lelahku ketika menyandarkan badan.
"Mungkin dia mengira kamu bakal lama di supermarket dan membuatkanmu sebuah kejutan." Alvan melihat ke sebuah foto yang ada di atas meja.
"Kamu tahu aku tidak melihat kalian sebagai adik-kakak, melainkan seperti sepasang kekasih. Kamu ingat kejadian minggu lalu kan? Dia mengamuk seakan kekasihnya direbut orang lain. Yah, mungkin aku tidak pernah merasakan bagaimana punya saudara perempuan karena aku anak tunggal, tapi aku tidak pernah melihat yang seperti kalian." lanjutnya sambil mengambil sebuah foto dan memandangnya dengan teliti. Foto itu diambil saat aku kembali ke Bandung dan langsung Toni mengajakku foto berdua.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Perfect Bad Guy
TerrorSemenjak orangtuanya meninggal, Lisa kembali ke kotanya dan hidup bersama sang adik, Toni pria yang mapan, kaya, dan banyak disukai wanita. Tapi entah kenapa orang yang pernah dekat dengan Lisa harus berakhir mengenaskan. Apakah ini disengaja atau h...