Semenjak kematian Pak Riko dan Alvan, aku mulai lebih banyak diam dan mengurung diri di dalam kamar. Toni yang melihat kondisiku seperti ini mencoba menghiburku dan mengajakku berlibur. Mungkin menyewa sebuah villa di sebuah pedesaan dan menikmati udara segar bisa membuatku merasa lebih baik dan melupakan beban pikiranku. Toni mengambil cuti beberapa minggu untuk menemaniku villa.
"Mana mungkin aku meninggalkan kakakku yang sedang depresi sendirian di sebuah villa." Toni mengusap lembut rambutku.
"Bagaimana dengan pekerjaanmu?" tanyaku.
"Tidak usah dipikirkan. Ada Clara dan bawahanku yang mengerjakan. Aku hanya memberi perintah apa saja yang harus mereka lakukan selama aku tidak ada." jawabnya dengan tenang.
"Enak sekali ya jadi direktur."
●●●
Kami tiba di villa pada siang hari. Suasana di sini terasa sangat menenangkan dengan pemandangan kebun teh dan pegunungan yang membuat mataku tidak bosan untuk memandangnya. Toni membawakan barang-barangku ke dalam villa. Interior vila ini juga sangat mengagumkan. Walaupun terbuat dari kayu, tapi terlihat sangat elegan. Bagian kamar tidurnya juga sangat mengagumkan. Villa ini benar-benar dibangun untuk bersantai dan merilekskan badan dari penatnya suasana di kota.
"Apakah kamu suka dengan tempat ini, Liz?" tanya Toni setelah dia membawakan barang-barang ke kamar.
"Tentu saja. Di sini sangat nyaman. Tapi, hanya ada satu tempat tidur di sini." jawabku sambil duduk di pinggir kasur.
"Kalau kamu tidak mau berbagi kasur denganku, aku bisa tidur di sofa saja."
"Ja... Jangan begitu. Baiklah aku akan berbagi kasur denganmu." kataku dan disambut Toni dengan ciuman kecil di dahiku.
"Baiklah. Kamu bisa menyusun barang-barang kita dan bersantai sejenak. Aku akan menghubungi Clara untuk memastikan urusan di kantor berjalan dengan baik." Toni meninggalkan kamar dan mulai membuka ponselnya.
Aku menyusun pakaianku dan Toni ke dalam lemari. Sejenak aku memikirkan pekerjaan Toni. Demi aku dia meninggalkan pekerjaannya. Bukankah aku hanya memberatkannya dan memberatkan bawahan Toni juga? Baru kusadari betapa egoisnya aku. Seharusnya aku tidak terlalu berduka dengan kepergian Alvan, sehingga membebani Toni seperti ini. Aku harus meminta maaf ke Toni.
Tidak lama kemudian Toni berteriak dari arah dapur,
"Hei Liz. Kamu lapar? Aku masakkan makan siang ya." tanya Toni dengan semangat.
"Toni, aku saja yang masak. Kamu beristirahat saja." jawabku. Aku berdiri dan langsung menyusul ke dapur.
"Kamu sudah membereskan kamar tidur?" tanyanya lagi dan aku menjawab dengan anggukan.
"Kalau begitu kamu istirahat saja, Liz. Bukankah kamu kecapean setelah perjalanan kemari."
"Tidak! Aku saja yang memasak."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Perfect Bad Guy
HorrorSemenjak orangtuanya meninggal, Lisa kembali ke kotanya dan hidup bersama sang adik, Toni pria yang mapan, kaya, dan banyak disukai wanita. Tapi entah kenapa orang yang pernah dekat dengan Lisa harus berakhir mengenaskan. Apakah ini disengaja atau h...