[COMPLETED]
#1 on Cerbung per 25 SEPT 2020
.
#5 on Angst per 3 March 2019.
#3 on Cerbung per 23 May 2019
#2 on Cerbung per 06 January 2020
"Bercerai itu berat, tapi lebih berat lagi menjalani pernikahan yang disfungsi."
Kalimat yang pernah Mauza de...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Farzan keluar dari apartemennya dengan tergesa-gesa. Bajunya yang kusut belum disetrika dimasukkan asal-asalan, lengannya juga belum terkancing. Tangan kanannya memegang setangkup Sandwich dan segelas kopi. Tangan kirinya meninting berkas dan ponsel. Sling bag hitam berbahan kulit dia gantungkan asal dibahunya. Farzan sudah telat. Bahkan, ia melewatkan salat subuh tadi. Kalau saja Indah, anggotanya di proyek ini, tidak meneleponnya untuk menanyakan kelanjutan draft laporan yang dikirimnya ke Farzan, mungkin laki-laki itu masih berlibur di pulau kapuk.
Sejak Mauza pergi, ia sulit tidur. Bahkan tadi malam, Farzan baru tidur pukul 04.00 pagi. Awalnya Farzan kira dia sulit tidur karena masalah di proyeknya tempo hari. Namun, nyatanya setelah proyeknya bebas dari masalah dan kembali berjalan normal, Farzan masih saja sulit tidur. Kabar dari tim forensik yang menyatakan bahwa pekerjanya meninggal karena serangan jantung sehingga membuatnya terjatuh dari ketinggian 20 meter tidak membuat Farzan lega dan mendapatkan kembali tidur nyenyaknya. Baru tadi malam, ketika ia menatap hampa sisi tepat tidurnya yang kosong, Farzan menyadari apa yang menjadi alasan gangguan tidurnya.
Farzan merindukan Mauza. Dia kehilangan hangat tubuh yang biasanya menguar di samping Farzan setiap malam. Hangat tubuh yang selalu menenangkan Farzan dan membuatnya nyaman.
Tadi malam, di sela-sela usahanya untuk tidur, Farzan sibuk memaki kebodohannya sendiri. Dirinya sendiri heran bagaimana dia bisa datang ke hotel tempat Mauza tinggal beberapa waktu dan sok ingin memberikan Mauza 'pengertian' dengan cara memperpanjang sewa hotel untuk Mauza. Semuanya ia terpaksa lakukan demi memberikan Mauza waktu menyendiri, seperti yang diinginkan istrinya itu. Padahal, jika ditanya hatinya , rasanya Farzan ingin mendobrak pintu kamar Mauza, dan membopongnya pulang dengan pelukan erat yang tidak akan Farzan lepaskan. Sayangnya, dia hanya lelaki pengecut yang tidak tahu harus bagaimana mengekspresikan rasa-rasa yang bergejolak dihatinya. Lelaki yang menyadari ada perasaan tidak ingin kehilangan yang begitu besar, tetapi gagal mengenyahkan memoar rumah tangganya terdahulu.
Farzan teringat akan surat Mauza yang diselipkan dibawah cangkir kopi paginya. Mauza bilang, manusia pada dasarnya memang egois dan Farzan sadar, dirinya juga sagat egois. Dia ingin Mauza menjadi miliknya seutuhnya, tidak meninggalkannya barang sedetik. Namun, di sisi lain, belenggu janjinya pada Naditya juga tidak ingin dia khianati. Dia ingin Mauza bisa mengerti bahwa Naditya pernah menjadi hal yang terbaik dalam hidupnya dan akan selalu seperti itu, tetapi juga Mauza harus turut mengerti bahwa kehadiran Mauza pun berharga di hidup Farzan. Ia ingin mengabadikan kenangan serta tetap hidup membawa cerita baru. Mengapa Mauza tidak memahaminya?
Farzan memang egois, Dia ingin Mauza kembali pulang, tanpa harus Farzan mengajaknya. Farzan pernah meminta kesedian Mauza untuk mendampinginya, dulu, saat ia melamar Mauza. Jadi sekarang logiknya bertitah, bahwa saat ini memang seharusnya Mauza pulang, mendampinginya, tanpa harus ia minta lagi, karena sudah kewajiban wanita itu. Farzan juga tahu, pikiran itu sangat salah dan ia harus mengenyahkannya, tapi ia tidak tahu harus berbuat apa. Dia pengecut. Dia egois. Lalu harus bagaimana? Hanya pengertian Mauza lah yang dia harapkan.