BAB XX: The Night Has Comes, and The Love is There

16.8K 837 38
                                    

Mauza memang sedang memunggungi Farzan, tetapi sesungguhnya dia sangat bahagia laki-laki itu tetap menungguinya, karena jauh di lubuk hatinya kehadiran Farzan yang dia mau

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Mauza memang sedang memunggungi Farzan, tetapi sesungguhnya dia sangat bahagia laki-laki itu tetap menungguinya, karena jauh di lubuk hatinya kehadiran Farzan yang dia mau. Saat ini pikiran Mauza sedang berkecamuk memerangi ketakutan. Setengah jam yang lalu, dokter telah memvonisnya mengidap kista rahim. Bagi seorang perempuan, segala kelainan atau gangguan dalam rahim adalah sebuah momok. Mungkin, kista bukanlah penyakit yang sangat berbahaya. Prevalensinya pun sudah sangat umum. Bahkan sebenarnya, keadaan ovarium yang membentuk sebuah kantung berisi cairan ini jika ukurannya kecil, bisa hilang dengan sendirinya. Namun, tetap saja ini merupakan mimpi buruk bagi Mauza. Apalagi ketika dokter mengharuskannya untuk segera operasi. Ukuran kistanya memang belum terlalu besar, tetapi pembengkakan yang terjadi membuat ovarium milik Mauza terpelintir, atau yang disebut dengan ovarian torsion. Jika tidak segera ditangani, Mauza bisa kehilangan satu ovariumnya.

Kemungkinan itu yang membuat Mauza menggila. Benaknya dipenuhi kekhawatiran ketidakmampuannya untuk hamil. Mauza benar-benar kalang kabut. Hubungannya dengan Farzan belum sepenuhnya membaik. Jika, kemungkinan buruk itu menjadi nyata, bisa-bisa dia benar-benar akan ditinggalkan oleh lelaki itu.

Memiliki keturunan adalah impian setiap pasangan. Jika dia tidak bisa memberikannya, apa lagi yang akan menjadi tujuan mereka bersama? Tidak ada lagi yang bisa dijanjikan Mauza. Satu-satunya yang bisa dia berikan adalah cinta. Malangnya, cintanya juga bertepuk sebelah tangan. Mauza semakin meragu bisa bertahan bersama Farzan.

Bahu Mauza bergetar. Farzan tahu perempuan itu sedang menangis tersedu. Ia mendekat. Tidak peduli penolakan Mauza. Satu-satunya yang Farzan tahu benar untuk dilakukan adalah tetap bersama Mauza. Make her lean on you, Zan!

Egonya tadi memang terluka, tetapi Farzan bergeming. Dia telah menentukan hatinya. Jadi, lelaki itu memilih tetap mendampingi Mauza yang sudah meringkuk di ranjang kamar rumah sakit, mengabaikan Farzan. Beberapa menit yang lalu, memang Mauza telah dipindahkan ke ruang perawatan untuk dipersiapkan menjalani operasi besok pagi.

Kali ini, Farzan bisa sedikit berbangga diri, karena tidak lagi mengulangi kebodohannya. Dia mensyukuri keputusannya untuk tetap tinggal. Sehingga dia tahu kondisi Mauza yang sesungguhnya. Kondisi penyebab ucapan pedas Mauza tadi. Farzan tahu, meski tidak diakui Mauza, Mauza tengah dalam kekalutan yang besar. Kali ini, Farzan berjanji pada dirinya sendiri, dia harus tetap di sini, tetap menemani Mauza.

"Yang," panggilnya. Telapak tangan Farzan pun telah mendarat di bahu Mauza, mengelusnya pelan. Mauza tidak merespon, tetapi isakan bisa di dengar Farzan. Lelaki itu naik ke tempat tidur. Walau hanya sebatas punggungnya yang bersandar di kepala tempat tidur, sementara kakinya menggantung di tepian. Farzan membawa Mauza ke dadanya, air mata langsung membasahi kaus hitam yang dikenakan Farzan.

"You'll be okay, sayang. Kamu bakalan baik-baik aja. Jangan nangis lagi," rayu Farzan. Ia menepuk-nepuk punggung Mauza lembut.

Mauza telah kalah. Hangat tubuh Farzan benar-benar bagai candu. Mauza seakan mendapatkan asupannya yang telah hingga hampir satu bulan ini. Wanita itu semakin terisak. Perlahan, tangannya melingkari tubuh Farzan. Dia bergelung nyaman di sana, meski sesekali ringisan masih keluar dari bibir mungil Mauza.

All I Ever Did Was Love YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang