BAB XIX : I'm coming back, but you're already left.

11.5K 807 22
                                    

Suara denting bel yang terus-terusan berbunyi membuat Mauza mau tidak mau bangkit dari tidurnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Suara denting bel yang terus-terusan berbunyi membuat Mauza mau tidak mau bangkit dari tidurnya. Padahal perutnya terasa sangat nyeri. Bahkan ia tidak mampu untuk berdiri karena menahan nyeri yang keterlaluan. Mauza meringis. Dia sudah biasa mengalami keram perut menjelang menstruasi, tetapi tidak pernah sesakit ini. Kali ini sakit yang dia rasakan berlipat-lipat dari biasanya. Perutnya serasa di tusuk belasan bilah pisau secara bersamaan dan berulang-ulang.

Suara bel itu tak kunjung berhenti, sambil tertatih setengah merangkak Mauza berusaha menggapai daun pintu. Ia tidak sanggup lagi untuk mengintip dari lubang kaca yang disediakan. Pintu ia buka dengan susah payah. Keringatnya bercucuran pertanda sebegitu sulit dia melakukan kegiatan sederhana tersebut. Dia tidak bisa mengeluarkan sepatah katapun selain ringisan sakit.

Raga yang berdiri di depannya kaget bukan main melihat keadaan Mauza yang sudah setengah sadar. Badannya basah keringat. Lengannya melilit perutnya erat. "Za, lo kenapa?"

Wanita itu tidak menjawab. Malah kini dia sudah tidak mampu lagi menopang berat tubuhnya dan terduduk di ambang pintu. Raga segara menyampakkan oleh-oleh dari Medan yang dibawanya ke dalam kamar Mauza, mengambil ponsel perempuan itu dan membopong Mauza menuju ke rumah sakit.

 Raga segara menyampakkan oleh-oleh dari Medan yang dibawanya ke dalam kamar Mauza, mengambil ponsel perempuan itu dan membopong Mauza menuju ke rumah sakit

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Raga rasanya ingin menerobos semua mobil dan motor yang menjadi penghalang jalannya. Dalam situasi seperti ini, dia mengutuk kemacetan jakarta yang makin hari makin luar biasa. Di sampingnya, Mauza hanya bergerak gelisah mencari beragam posisi yang bisa membuat perutnya nyaman, tetapi nihil. Perempuan itu bahkan menggenggam tangan Raga sangat kuat. Raga mengira nyeri yang dirasakan Mauza pasti sangatlah sakit. Untungnya, mobilnya bertransmisi otomatis, hingga cengkraman dan cakaran Mauza tidak menganggu dia yang sedang menyetir mobil.

"Sakit...," pekik Mauza lirih. Sebulir air mata bergulir di pipinya.

Raga hanya bisa menatapnya iba. "Sabar ya, Za. Bentar lagi kita nyampe. Itu rumah sakitnya udah kelia—ASU!" umpatnya pada pengendara motor yang tiba-tiba menyerobot antrian, meski tidak terdengar sampai luar. Hampir dia tabrak. "Gak ada otaknya sih bawa motor! Gak tahu orang udah panik apa."

Cengkraman Mauza di lengannya membuat Raga tidak berkomentar apa-apa lagi. Satu-satunya yang dia lakukan adalah memacu mobilnya menuju rumah sakit yang hanya tinggal 100 meter lagi. Sesampainya di pintu IGD, Raga menyerahkan Mauza kepada petugas dan memilih memarkirkan mobilnya dahulu. Raga baru kembali setelah menyelesaikan urusan administrasi, dia melihat Mauza masih meringis kesakitan walaupun sudah disuntikkan analgesik. Malah sekarang Mauza mulai muntah-muntah. Gerak tubuhnya yang mencondong ke depan sebagai respon refluksnya yang tiba-tiba membuat selang infusnya sedikit tertarik. Raga sungguh tak sampai hati melihat kondisi Mauza. Mungkin telat sedikit dia datang ke tempat Mauza, entah apa yang terjadi pada wanita ini.

All I Ever Did Was Love YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang