Bab 1

136 30 0
                                    

Sudah sebulan aku dan Arif menjalani rumah tangga. Begitu banyak penyesuaian juga adaptasi yang kita berdua lewati, banyak hal baru yang baru aku ketahui menyenai kebiasa Arif. Seperti, kebiasanya dirinya sebelum menjalani aktivitasnya Arif selalu menyempatkan dirinya berolahraga seusai sholat subuh. Sedangkan aku paling malas dengan olahraga seusai, sholat subuh selalu berleha-leha diatas kasur sembari main handpone lama-kelamaan ketiduran. Itu hal yang Arif tidak suka dari aku. Karena hukumnya makruh jika tidur kembali, dimana banyak barokah rezeki yang diturunkan pada pagi hari. Lebih baik digunakan dengan berolahraga.

Seusai olahraga dengan badan sudah berkeringat. Mirna mengambil air dari dalam kulkas menuangkannya pada dua gelas. Mirna, menghampiri Arif menyodorkan gelas berisikan air putih itu, pada Arif yang tengah duduk di kursi panjang, di balkon. Dengan sulas senyuman Arif menerima segelas air mineral itu dari tangan Mirna.

"Rif, Linda temen kuliah kita di Turki. Ngajakan ketemuan."

Arif yang tengah meneguk air mineralnya mengerutkan dahinya. "Linda? Bukannya dia masih di Turki, makanya pas kita nikah dia nggak datang."

"iya, besok dia udah ada di Indonesia. Mau kasih selamat ke kita, sekalian reunianlah udah lama juga kan kita ga ketemuaan."

"tapi, kalau besok aku nggak bisa nemenin kamu ketemuan sama Linda. Soalnya aku ada metting."

Mirna memajukan beberapa senti bibirnya tanda kekecawan dia. "yah, ya udah deh, kalau gitu aku mau ajak. Shandi aja untuk menemeni aku."

«««

Mirna berjalan menuruni anak tangga. Tangan dan matanya sibuk menyapu rak sepatu untuk mencari sepatu templek kesukaannya yang warna coklat. "Dek, ayo kita berangkat. Kakak udah siap nih." Teriak Mirna sembari memakai sepatunya dari ruang tamu.

"iya, kak sebetar lagi." Teriak Shandi dari dalam kamarnya yang ada di lantai dua. Seusai memakaikan mascara pada bulu matanya. Shandi keluar dari kamarnya menghampiri kakanya yang sudah kesemutan berdiri menunggu lama. "yuk, berangkat." Ucapnya dengan seulas senyuman sebagai tanda maafnya telah membuat kakaknya menunggu lama.

Degan tatapan dinginya Mirna membalikan badannya membuka pintu rumahnya. Memasuki mobil pewe yang sudah beberapa dia modifikasi. Diperjalanan keduanya diam. Mirna yang mengemudi fokusnya pada jalanan, sedangkan Shandi duduk disebelahnya sibuk memainkan handpone-nya. Setelah menempuh perjalanan 30 menit mobil pewe dikendarainya terparkir disebuah kafe tekenal di kota Jakarta. Mirna dan Shandi pun memasuki cafe itu, matanya Mirna menyapu seisi kafe mencari keberadaan Linda. Yang beberapa menit lalu lewat wahatsapp. Sudah mengabarinya kalau dirinya sudah sampai di cafe ini yang menjadi tempat janjian mereka bertemu. Sampai pada akhirnya seorang perempuan yang duduk di dindinng pembantas selatan kafe. Dengan sofa berbentuk setengah lingkaran diatas meja tertera nomor 54 melambaikan tangannya. Dengan sambutan hangat, Linda membawa sahabat lamanya itu kepelukannya dan mencium kedua pipinya.

"hey, apa kabar kamu?." tanya Mirna.

"allhamdulilah aku baik, ayo duduk aku udah pesenin kamu es kopi vietnam." Linda tersenyum kecut, sambil mengaduk es moccacinonya di hadapannya. Saat melihat Mirna mulai menyentuh cangkir dari kopinya. "Shandi, aku juga udah pesenin kamu,  moccacino." Tak lama kemudian, ada pramusaji yang menghidangkan moccacino untuk Shandi.

Dengan posisi Mirna duduk di tengah Shandi duduk di belah kanan Mirna dan Linda duduk disebelak kiri Mirna. Mereka duduk pada sofa setengah lingkaran itu. Mirna pun mengaduk kopi itu sebelum pada akhirnya meneguknya. "Lin, ini kopi apaan sih yang kamu pesen? Rasanya aneh banget!." Komentar Mirna setelah meneguk setengah cangkir kopinya. Beberapa menit kemudian Mirna merasa tenggorokannya terasa panas, meminta Shandi untuk membawakannya air putih. Sekembalinya Shandi melihat kakaknya sudah terkapar dengan badan yang kejang-kejang. Dengan sigap Shandi meminta bantuan petugas di kafe itu untuk membawa kakaknya ke klinik yang dekat dengan kafe ini. Sedangkan Linda tidak berbuat banyak hanya melihatnya sahabatnya itu kejang-kejang, bahkan terkesan tak peduli.

Saat hendak Mirna akan dilarikan ke rumah sakit lebih besar. Di dalam perjalanan Mirna menghembuskan napas terakhirnya, Shandi yang berada disamping kakaknya menggam dengan erat tangannya dengan tangisan histeris mengguncang-guncang badan Mirna berharap kalau kakaknya bisa membuka matanya kembali

«««

Instanbul, Turki 2008

Mirna, Arif, Linda berjalan dikoridor kampus menuju kelas. pagi ini Turki terasa hangat dan cerah. Kami bertiga tercatat menjadi mahasiswa di universitas Ankara, Turki. Di jurusan keramik dan kaca. Dengan langkah kaki cepat lantaran waktu yang mendesak 5 menit lagi mata kuliah akan dimulai. Mirna yang paling anti dalam hal terlambat, merasa kesal melihat dua temannya terlihat santai saja.

"ayo, cepetan. 5 menit lagi masuk loh." Mirna yang melangkah lebih cepat di depan Arif dan Linda. "pokonya aku nggak mau telat 1 menit pun!." Pandangannya kebelakang melihat dua sahabatnya.

"awas, Mir. Tangga." Setelah Arif ucap itu, Mirna terjatuh ditangga.

Linda dan Arif melihat Mirna yang tersungkur langsung membantu Mirna. "kamu tuh yah, ceroboh dipelihara." Ucap Arif menyelidik sekujur tubuh Mirna untuk memeriksa keadaannya.

"aw, sakit." Keluh Mirna, terduduk kembali setelah mencoba untuk berdiri.

Arif langsung membawa badan Mirna, menggendongnya sampai kelas. sesampainya di kelas. Arif menduduki Mirna di bangkunya dan menaro tasnya di atas meja. "makasih, Rif." Ucap Mirna dengan senyuman lembutnya.

Linda yang melihat hal itu hanya bisa terdiam. Mencoba memaknai bentuk perhatian itu tidak lain hanyalah seorang sahabat. Namun gemuruh hatinya meronta, memanas. Melihat tatapan, juga setiap tindakan Arif. Pelakukannya kepada Mirna itu begitu tulus, terasa begitu dalam.

«««

Berita kematian Mirna telah beredar, menjadi perhatian khalayak masyarakat. Para awak media kerap kali meminta penjelasan dari keluarga Mirna menganai kronologis kematian Mirna terasa aneh seusai menegak es kopi vietnam. Otopsi pun dilakukan, hasilnya menujukan bahwa di lambung Mirna terdapat 0,2 miligram per liter sianida. Dari semua keluarga yang begitu terpukul menerima kematian Mirna. Arif lah yang paling memberutal hatinya harus menerima wanita yang dia cintai harus pergi meninggalkanya secara tak wajar ini. dugaan demi dugaan pun bermunculan, tudingan pun mengarah pada Linda yang telah meracuni Mirna secara sengaja.

Namun Linda dengan tegas selalu membatahnya mengenai tuduhan itu. Mulutnya bisa berkata tidak, namun sebenarnya dihatinya begitu gelisa bagaimana jika nanti dia terbukti bersalah. Sederet hukuman negarapun siap mempenjarakannya. Berbagai arapun untuk membela diri, Linda lakukan. Mulai dari meminta perlidungan kepada komnas HAM. Berkoar-koar ke beberapa stasiun TV untuk menyanggah atas semua tudingan pada dirinya yang telah membuatnya tertekan.

"saya sahabatnya Mirna. Aku salah seorang yang begitu terpukul dengan meninggalnya Mirna. Coba deh, gimana perasaan kalian kalau jadi aku. yang dituduh atas kematiaan sahabatnya sendiri, itu bener-bener buat aku tertekan." Terang Lida, di salah satu stasiun TV. Perbincangannya disebuah siaran langsung berita terkini dengan pembawa acara.

"lalu, Linda. Sebenarnya persahabatan kalian ini sudah berlangsung lama kah?." Tanya perempuan dari pembawa acara tersebut.

"saya, Mirna, juga Arif suami dari Mirna. Sudah berteman sejak kami kuliah di Turki. Pertemanan kami sudah berlangsung hampir 10 tahun."

"ada issu yang menyatakan kalau anda sakit hati karena tidak di undang ke pernikahan Mirna dan Arif pada sebulan yang lalu."

"itu tidak benar, Aku di undang saat mereka nikah. Tapi, posisi aku saat itu lagi Turki. Atasan aku di tempat aku bekerjapun tidak memberi aku untuk cuti sekedar untuk menghadiri pernikahan mereka. Saat saya udah diberi cuti, saya cepet-cepet kabarin Linda untuk ketemuan. Kita udah lama juga nggak ketemuan, saat di kafe yang jadi tempat tragis itu. Kita lagi kangen-kangenan. lepas rindu setelah sekian lama nggak ketemu."

"oke, untuk terakhirnya apa yang ingin anda samapaikan?."

"saya cuman mau bilang, cukup untuk semua opini-opininya mengenai penyebab kematian Mirna. Dia udah tenang disana, kita biacarkan yang baik-baik ajalah untuk almarmum Mirna disana."

Diakhir acara Linda dan pembawa acara saling bersalaman melempar senyum. Hati Linda terasa legi sedikit untuk membela dirinya. Menggoyahkan pemikiran buruk ke pada banyak orang mengenai tuduhan yang ditunjukan pada dirinya.

Jika Kamu TauTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang