Part 13 Another Chance

6K 430 1
                                    

Kedua kakak beradik itu terlihat menikmati waktu bersama mereka. Perpisahan yang panjang dan jalannya takdir yang tidak terduga membuat mereka jarang bisa melepas rindu seperti sekarang.

Elisa mulai dapat tersenyum senang dan menceritakan banyak hal kepada kakaknya. Di lain sisi Elliot juga merasa bersyukur adiknya bisa tersenyum kembali. Mereka terus mengobrol dan saling menikmati waktu kebersamaan mereka hingga hari mulai beranjak petang.

"Sayang.. Sepertinya kita harus kembali ke rumah sakit. Hari sudah malam dan udara dingin tidak baik untukmu. Kamu harus banyak istirahat sweetheart" ucap Elliot mengingatkan adiknya.

"Ehhmm.. Aku masih ingin melihat kucing-kucing itu bermain kak" ucap Elisa membalas perkataan kakaknya.

"Besok kita bisa kesini lagi sayang. Sekarang sudah malam dan kamu harus istirahat." ucap Eliot dengan lembut sambil mengelus rambut Elisa.

"Baiklah, tapi janji ya besok temani aku jalan-jalan kesini lagi." ucap Elisa menyetujui ucapan kakaknya.

"Tentu sayang, kakak akan mengajakmu kesini lagi besok." ucap Eliot sambil tersenyum.

Elliot mulai mendorong kursi roda Elisa kembali ke rumah sakit. Malam ini udaranya terasa dingin, awan mendung terlihat menyelimuti langit. Sepertinya hujan akan turun dengan deras sebentar lagi.

Elisa kembali duduk di atas ranjang dengan nyaman. Ia sebenarnya merasa bosan berada di ruangan sendirian. Kakaknya harus meninggalkannya dikarenakan harus membantu ayahnya menyelesaikan urusan kerajaan. Ibunya dan Luna Misela juga sibuk dikarenakan keperluan lainnya dalam penataan kembali pekerja kerajaan.

Suara guntur memecahkan lamunan Elisa. Di luar nampak hujan sudah turun dengan deras. Elisa memandang sendu ke arah luar jendela. Saat melihat hujan, ia jadi teringat kejadian buruk ketika ia berpisah dengan anggota keluarganya.

Kenangan buruk itu terus berputar di kepalanya hingga ia tidak menyadari ada sepasang mata yang melihatnya dari balik celah pintu ruangannya.
Lucian menatap rindu kepada gadis mungil yang terlihat melamun itu.

Dirinya sudah berjanji kepada ayah dan ibunya untuk tidak menemui Elisa dulu sementara ini. Elisa harus benar-benar pulih dari sakitnya. Dalam hati ia ingin sekali masuk dan meminta maaf kepada Elisa. Tetapi karena takut akan menakuti Elisa ia menekan dalam-dalam keinginannya itu.

Ia sudah merasa cukup senang dengan bisa memandang Elisa dari kejauhan. Ia tidak akan berharap tinggi, karena memang semua ini adalah hukuman untuknya. Ia merasa pantas menerima semua ini. Perlakuan tegas dari orang tuanya, tatapan tidak suka dari orang tua Elisa dan tatapan dingin dari para anggota pack ia anggap sebagai hukuman.

"Kakak.. Kakak sedang apa disini??" perkataan adiknya berhasil mengalihkan perhatian Lucian dari Elisa. Ia menoleh sebentar ke adiknya dan kemudian memandang Elisa lagi.

Diandra hanya bisa menghela nafas lelah. Dirinya juga ikut merasa bersalah kepada Elisa. Ia selama ini juga hanya bisa menemani kakaknya yang belakangan ini kondisinya tidak terlalu baik. Lucian terlihat lebih kurus dan kurang tidur.

"Apa sebaiknya kita masuk dan mencoba minta maaf saja kak?? Bukankah tidak ada salahnya untuk mencoba??" ucap Diandra lagi.

"Tidak, kita akan membuatnya takut." ucap Lucian tanpa menoleh ke arah adiknya itu.

"Tapi sampai kapan kakak mau seperti ini terus?? Aku tau kita salah, setidaknya kita harus meminta maaf kak. Nanti terserah Elisa mau menerima atau menolak permintaan maaf kita." ucap Diandra dengan pelan.

Lucian nampak menghela nafas panjang. Sungguh sebenarnya ia juga ingin bertemu Elisa. Hatinya bergejolak ingin menuruti ucapan adiknya. Tapi ia takut, takut akan membuat Elisa terpuruk kembali.

"Yasudah kalau kakak tidak mau, aku saja yang masuk"
Belum sempat Lucian membalas perkataannya, adiknya sudah lebih dulu membuka pintu itu.

Elisa nampak terkejut dengan suara pintu yang terbuka secara tiba-tiba. Tatapannya bertemu dengan tatapan Lucian. Seketika rasa sakit dan rasa takut itu kembali. Tubuh Elisa menjadi kaku dan perlahan dirinya mulai gemetar ketakutan. Air mata mulai mengalir dengan sendirinya dari kedua matanya yang memandang ke arah Lucian.

Lucian juga sama, ia tidak bisa mengalihkan tatapannya dari kedua mata Elisa. Tubuhnya kaku dan lidahnya keluh. Ia tidak tau harus berbuat apa. Saat menyadari Elisa gemetar dan mulai meneteskan air mata tatapannya berupa menjadi tatapan kesedihan. Perasaan bersalah dan penyesalan itu kembali menyerangnya. Hatinya terasa sakit dan sesak, air matanya perlahan ikut keluar melihat kondisi gadis mungil itu.

The Little LunaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang