Kenalan

5.8K 577 98
                                    

Adek,

Hai, selamat bertemu. Nama gue Tetra. Jangan tanya artinya apa karena gue pun nggak tahu dan udah nyerah nyarinya. Yang jelas gue bukan anak keempat, bukan bahan kimia berbau busuk yang dipakai untuk melarutkan cairan juga. Pokonya Tetra, hanya Tetra.

Tapi gue pernah tanya sama mama, yang pada akhirnya cuma dibalas "Yang penting nama kamu bukan kakus." Oke. Begitu rupanya. Yang penting bukan kakus. Jadi sekarang kalau gue ditanya nama lo artinya apaan sih, tet? Gue cuma balas, apa aja yang penting bukan kakus.

Setelah nama, maka sekarang saatnya bahas panggilan. Panggilan kecil gue memang Tet. Begitu aja cukup. Jangan diubah jadi Hamish Daud karena buat apa juga kan itu nama orang. Terlebih sih karena gue nggak punya pasangan seperti Raisa. Punyanya yang standar banget. Ibaratnya nih Raisa buku merek SIDU, pacar gue merek Mirage. Bayangin aja itu bedanya kayak apa.

Sudah lah dia tidak begitu penting. Mending bahas gue lagi aja yang akan jadi inti kedua dari dunia yang lo baca ini. Oke, kita mulai dari gue lahir tanggal 30 Desember 1995. Umur gue sudah jelas 22, bukan 17 apalagi 11 tahun walau mukanya mendukung. Seharusnya gue sudah lulus kuliah, tapi karena gue memulai lagi di tahun yang seharusnya jadi tahun kedua. Jadinya sekarang baru mau lulus. Baru selesai nyusun dan mau sidang. Doanya ya.

Gue anak kedua dari dua bersaudara. Dua-duanya ganteng, info aja sih..

Sekarang, perkenalkan ini bang Egi (anggap saja gue lagi memperlihatkan si abang ke kalian semua, padahal orangnya nggak ada, belum balik.) Dia abang gue, si anak pertama yang terbilang sukses dalam cabang olahraga rebahan. Tapi tenang, stok kerennya abang masih banyak kok. Percaya lah dia nggak dugong-dugong amat. Anaknya rajin, suka benerin perabot rumah yang rusak. Kalo kata istilah jaman sekarang sih abang itu suamiable. Masalahnya cuma satu, dia krisis calon istri.

Tapi nggak masalah, abang bukan tipikal cowok yang mengharuskan dirinya punya pacar. Paling galau dikit kalau sahabat dekatnya jalan sama orang. Gue pengen ketawa sebenernya, tapi nggak enak nanti orangnya tiba-tiba pulang, bisa dijitak pala gue ini.

Balik lagi ke cerita gue dan abang aja, kita cuma beda dua tahun. Itu juga katanya abang sempet nggak mau punya adek walau mama udah mengandung gue lima bulan. Tapi akhirnya abang bisa nerima karena gue laki-laki. Katanya enak bisa diajak main perang-perangan. Iye enak kalo gue yang selalu jadi korban "Pokoknya adek nggak bisa ngapa-ngapain, tiduran aja deh. Biar abang komandannya." Begitu terus skenarionya tiap main. Pikir-pikir peran gue disitu cuma geletak doang, nggak kebagian nyerang lawan–yang sama sekali tidak berwujud itu, dan gue juga nggak dikasih trik bertahan.

Pokoknya adek tiduran aja habis ketembak lawan.

Ah indahnya masa kecil saat pekerjaan itu sebatas tiduran. Udah gede malah nyesel kenapa kesempatan tiduran itu nggak dipake dengan baik. Sekarang bisa senderan aja udah sukur, itu juga dibayang-bayangi tugas kuliah dan himpunan.

Coba, bang, main perang-perangannya sekarang. Adek bagian tidurannya aja, abang bagian ngurus tugas kuliah dan sebagainya. Rela adek bang. Ceritanya sambil nahan bekas luka ditembak sekutu terus disuruh bikin indomie juga nggak apa-apa, asal tugas adek kelar semua.

Detik ini gue bisa mendengar balasan abang gue nih, "Pala lu, dek."

Nah kan, baru juga diomongin orangnya udah dateng. Dibawah sana ada suara mobil berenti depan rumah, dilanjut suara pager dibuka, begitu pula ketawa dia yang paling lagi nanggepin tetangga. Sekarang mobilnya udah masuk garasi, udah ada suara pintu mobil di tutup, dan..

"Assalamualaikum."

Abang udah pulang. Gue harus pamit dulu, secepatnya habis ini gue akan beresin kamar si abang ini dan lari ke kamar sendiri.

Nanti ngobrol lagi. Nggak sama gue deh, sama abang aja.

Salam dari adik manis,
Tetra.

cerita abang adekTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang