003 - waktu adek putus

3.2K 516 60
                                    

           

Egi sudah siap memaki saat suara motor Tetra terdengar lagi parkir dibawah. Akhirnya si adek yang bikin khawatir semaleman itu pulang juga. Setelah handphone-nya nggak aktif, ditelfon ke pacar juga pacarnya malah bilang nggak tahu, yang satu itu bikin abang bingung banget, sih. Biasanya pacar adek sangat bisa diandalkan, tapi malam itu dia malah terdengar menyebalkan.

"Aku nggak tau bang, maaf ya." Klik. Di tutup telfonnya. Egi sempat mau telfon lagi, mau nanya lagi kenapa tapi gimana juga hubungan adeknya ya biar adek yang urus. Abang nggak usah ikut-ikut. Tapi bagian marahin sih abang berdiri paling depan apalagi keadaannya kayak begini, pergi dari pagi sampai jam satu malem nggak ada kabar sama sekali. Tapi akhirnya adek pulang lengkap dengan wajah muram dan ini kehebatan abang, dia tau ada yang adek sembunyikan dari dirinya.

"Tangan lo."

"Apa, bang?"

"Gue liat tangan lo."

Adek dengan pasrah memperlihatkan tangan kirinya yang sehat walafiat.

"Yang kanan."

Adek lagi-lagi pasrah, tangan kanan yang luka parah dan berdarah banyak itu akhirnya dilihat abang.

"Ini kenapa?"

"Jatoh tadi didepan."

Abang diam, dia bersandar ke dinding sambil melipat kedua tangannya didepan dada. Ini namanya lagi ngasih perpanjangan waktu buat adek supaya mikir dua kali. Mau lanjut bohong apa mau jujur aja sama abang. Kalau abang sudah berdeham sekali, berarti waktunya habis dan mau nggak mau adek harus terbuka.

"Gue habis putus, bang." Jujurnya. Abang langsung terkesiap. Posisi berdirinya sudah nggak sesantai sebelumnya. Dia kaget, jelas. Tapi kalau diingat-ingat betapa dingin telfon pacarnya adek tadi, semuanya jadi nggak aneh lagi.

"Gue baru tau ternyata cewek gue jalan lagi sama cowok. Dan tadi gue ketemu sama mereka berdua."

"Lo tonjok nggak cowoknya?"

"Nggak lah, kalo gue yang nonjok kenapa tangan gue yang luka."

"Yah nggak rame."

"Bang! Gue putus ini malah mentingin rame nggak ramenya."

Iya juga, pikir abang. Salah fokus tadi.

"Terus gimana sekarang?"

Adek tiba-tiba duduk dan menunduk. Berat rasanya menerima kenyataan kalau kisah cintanya selesai dengan tragis seperti diselingkuhi begini, tapi sepanjang hari yang adek lakukan adalah menahan diri, jangan sedih, Tet, jangan sedih lo laki-laki masa sedih.

Tapi setelah sampai rumah, setelah ketemu abang yang dengan sabar menunda tidur dan menunggu adek pulang. Adek menyerah juga. Sakit hatinya berubah jadi bulir airmata yang nggak kunjung turun tapi memenuhi ujung matanya.

"Sakit hati gue, bang." Katanya. Sedetik kemudian ditambah ketawa yang dibuat-buat, "Apaan sih ya, bang, gue kan laki-laki, nggak boleh gue cengeng begini. Gue kan mesti kuat, kaya lo–"

"Sedih itu bukan perkara lo cowok atau cewek. Sedih itu emosi, nyambungnya sama perasaan. Lo manusia, lo lahir sama perasaan, itulah kenapa lo punya hati. Jadi kalo ada yang bikin hati lo sakit dan lo sedih, ya wajar dek."

Mendengar itu, adek malah semakin sedih. Kalau wajar ya berarti boleh lah gue nangis ya. Kemudian nangis beneran, wajahnya dibuat sedemikian rupa sedihnya jatuhnya malah jadi jelek dan abang meringis lihatnya.

"Nggak begitu juga nangis lo. Ini bukan masalah lo cowok lagi, tapi masalahnya lo jelek."

Sebuah bantal kursi melayang kearah abang dan dia ketawa.

"Sialan, gue kan lagi berduka bang. Kasihani gue kek."

"Tsk, iye, lo mau gue ngapain sekarang? Nina boboin lo biar tidur dan lupa akan apa yang terjadi hari ini?"

"Boleh,"

"Ya elah, yang bener aje."

Adek tergelak ditengah sedihnya, "Nggak usah ngapa-ngapain deh, bang, ada lo aja gue udah seneng, setidaknya kesel gue kesalurin dengan cerita ke lo."

"Plus ke tembok yang lo tonjok. Tembok sial mana yang lo tonjok itu?"

Si adek nyengir, aneh juga tadi nangis dan sedih sekarang malah nyengir.

"Gue nggak nonjok tembok, bang."

"Terus, apa?"




"Kaca mobil si cowok barunya cewek adek."



"Goblok lu."
Incorrect, i'm so proud of you.

cerita abang adekTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang