01

106 12 2
                                    

"Margie, bisa bantu aku menyusun piring di meja makan ?"

"Tentu, Bunda"

Jangan salah paham. Orang yang ku panggil bunda tadi bukanlah benar-benar ibuku. Dia hanyalah Bibi Anne, atau yang selalu saja kami panggil 'Bunda'.

Kami. Iya kami. Kau tak salah baca. Yang kumaksud disini adalah aku dan para 'adik-adik'ku-sebut saja begitu. Kami sengaja memanggilnya bunda karena ia memang sudah seperti sosok malaikat pengganti yang kami butuhkan. Ya sekiranya begitu hingga kau berumur 18 dan tak ada yang mengadopsimu. Maka kau akan dijual.

Iya benar dijual. Parah bukan ? Tentu saja tak ada yang tau tentang transaksi gelap nan haram yang dilakukan oleh Caring House kecuali para pengasuh dan bunda. Dan aku tentunya. Well, aku diam-diam tau karena akan sangat bahaya jika para pengurus tau tentang hal ini.

"Margie sayang. Kenapa melamun ? Panggilkan adik-adikmu yang lain ya."

Aku mengangguk pelan dan melangkah berat ke lorong lorong kamar. Berjalan kearah koridor yang dihiasi barang barang yang tampak tua di dindingnya seperti jadwal harianku. Rasanya tak lengkap suatu hari jika aku tidak mengetuk setiap pintu dan menyebut nama mereka masing masing.

"Rena cepat keluar dari kamarmu! Wendy, kau juga! Tasya, bangunkan juga Paris! Yang sudah selesai, kumohon bantu aku sekali saja! Kau tinggal berjalan lurus menuruni tangga dan langsung ke meja makan! Permintaanku tidak macam-mac-Hey! Darly! Berikan sisirnya ke Violet! Rambutmu tak akan bisa lurus walau kau setrika sekali pun! Gunter! Kau yang tertua diantara anak laki-laki lain disini! Harusnya kau yang memimpin! Cepat! Semuanya ke bawah! Yang terakhir kebawah akan kuambil jatah puddingnya! "

Jangan kaget. Kekacauan di pagi seperti ini sudah biasa. Melewati anak-anak yang berdecak kesal merupakan pil pagi ku. Tatapan sangarku tentu saja selalu berhasil membuat mereka menunduk tak berani melawan.

"Hana, dimana Alana ?"

"Dia masih mengikat rambutnya tadi kulihat dikamar kak."

"Baiklah. Langsung ke meja makan, mengerti ?"

Dia hanya menggangguk. Huh. Untung saja diantara anak anak brutal ini masih ada yang menurut.

Baiklah. Tugasku hanya tinggal memanggil Alana, adik kembar Hana, keruang makan. Tinggal beberapa langkah lagi menuju kamar paling ujung di koridor ini ,tempat si kembar tidur.

"Alana. Ayo sarapan. Yang lain sudah menunggu"

Alana tersentak kecil saat aku bersuara. Ia mengangguk pelan lalu berjalan melewatiku. Aneh. Biasanya ia sangat ceria 24 jam sehari. Aku melirik sekilas ke dalam kamar. Tampak segumpal rambut disisir depan cermin. Dasar pemalas. Apa susahnya sih membersihkan rambut-rambut itu.

Dengan kesal aku melangkah ke depan cermin itu sambil memegangi sisir. Kutatap perlahan sambil mengingat bibir pucat Alana. Aneh saja rasanya. Untuk anak berumur 11 tahun memiliki kerontokan yang dahsyat sampai bisa membuat wig darinya. Ah masa bodohlah. Aku lapar.

Sesampainya di meja makan, terlihat wajah-wajah kesal dari anak-anak yang harus menungguku. Masa bodoh. Toh mereka sudah merepotkanku selama hampir 17 tahun.

Sesudah sarapan aku membantu Bunda membereskan piring piring makan. Hari ini hari minggu sehingga aku bisa sedikit lebih bersantai dibandingkan biasanya.

"Margie, ada panggilan untukmu. Dari Pam" bunda menghancurkan lamunanku saat aku mulai terhanyut. Aku bangkit dari kursi santai di kamarku.

"Makasih Bunda" kataku sambil mengambil gagang telepon sebelum bunda berlalu.

"Hei Pam. Makasih sudah repot repot menggangguku" kataku dengan nada bercanda.

"Kemana aja sih ? Daritadi ku telpon loh. Berani taruhan, kau pasti sedang melamun saat dipanggil bunda tadi" katanya sambil tertawa diujung telepon. Aku mendelik mataku karena apa yang dia tebak memang benar. Pam memang tau segalanya.

"Dasar cenayang tua. Ponselku dalam mode silent. Mau apa kau ?" Jangan anggap aku serius. Kami memang punya panggilan 'kesayangan' untuk masing masing. Kami sudah akrab sejak bertemu pertama kali di Caring House ini. Tapi tentu saja. Dia lebih beruntung dibandingkan aku.

"Tidak mau apa-apa. Cuman menyapa diwaktu senggang. Bagaimana kabarmu ?"

"Tak berubah. Masih disini. Menunggu untuk dijual" kataku sarkastik.

"Hey! Jangan bilang begitu. Gak baik tau"

"Lalu mau bilang apa lagi ? Toh memang itu yang terjadi jika tidak ada yang memungutku tahun depan"

Aku hanya mendengar desahan putus asa diujung sana. Sudah kuduga. Semua orang yang berada diposisiku juga pasti akan menyerah pada nasib.

"Sudah kubilang kan. Tidak usah memikirkanku. Jalani saja hidupmu ,Pam. Kau orang yang beruntung."

"hey! Mana mungkin aku membiarkanmu begitu saja. Kita ini sudah seperti saudara kembar tau!"

"Kembar darimana sih ? Kau itu cantik ,Pam. Aku cuman bebek buruk rupa." Jawabku dengan malas.

"Suatu hari bebek buruk rupa akan menjadi angsa. Ingat itu."

"Iya-iya." Lebih baik aku mengalah daripada membuat perdebatan ini jadi makin panjang. "Ngomong-ngomong, ada apa menelponku ? Dari tadi aku mau menanyakannya ."

"Gak ada apa-apa. Aku rindu. Bisa gak kalo kita ketemu ?" bisa kutebak, diseberang sana Pam pasti sedang melakukan 'muka-memelas-yang-menggemaskan-dan-mampu-melelehkan-hati-batu-sekalipun'.

"Baiklah. Kapan ?"

"Nanti sore bagaimana ?" Nanti sore ya ? boleh juga tuh sebagai alasan kaburku dari tanggung jawab.

"Baiklah. Sore ini. Tapi dimana ?"

"Bagusnya dimana ?"

"Taman dekat TK kita dulu saja. Disitu nyaman."

"Kau yakin tidak terlalu jauh ? Maksudku dari rumahku dekat sih. Tapi dari Caring House kan lumayan jauh."

"Gak apa-apa. Lumayan. Aku mau lepas tanggung jawab dulu dari sini. Setidaknya ada alasan kenapa aku pulang lama."

"Baiklah. Tapi kalau bunda marah jangan salahkan aku ya."

"Tenang saja. Kututup dulu ya. Bye"

Tanpa menunggu jawaban Pam, aku menutup telepon. Segera setelahnya, aku berlari kekamar ku untuk bersiap buat 'kabur'.

Aku mulai memakai jaket dan topi. Simple. Tapi aku suka. Terserah kalau kalian mau menganggapku 'tidak berperikefashionistaan'-jangan tanya,Pam yang membuat kata-kata itu- selagi pakaian itu nyaman dan sopan, aku suka.

Baiklah. Tak perlu berbasa basi lagi. Aku harus pergi sekarang sebelum Bunda mulai mencariku.

-tbc

CURSEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang