17

4 0 0
                                    

It reminds me to death. It reminds me to life. Two different things, but come from the same person.
Him

_●_●_

Suara seorang wanita yang meminta kasa steril terdengar di telingaku. Ah, tempat ini lagi. Dari aroma ruangannya yang khas saja aku sudah bisa menebak di mana aku saat ini.

Aku membuka mataku secara perlahan. Cahaya rumah sakit yang terang benderang menyeruak masuk ke pupilku yang masih menyesuaikan daerah sekitar. Aku terbaring di atas kasur putih dengan selang terhubung dengan punggung tanganku. Di sekitarku tertutup tirai-tirai biru muda hampir keputihan, menghalangi pemandangan yang terjadi di balik tirai tersebut.

Aku mendudukkan diriku. Sedikit pusing tapi aku memaksakannya. Terdengar seseorang menyibak tirai tersebut. Rambut ikal pirang tertangkap oleh sudut mataku. Siapa lagi kalau bukan Pam.

"Margie, kau tak apa ?" Pam terlihat lebih panik dari diriku sendiri.

"Aku baik-baik saja, Pam. Jangan berlebihan." Kataku sambil sedikit mendorongnya yang telah memelukku dengan erat. Menyesakkan tentunya jika berlama-lama berada dipelukan Pam yang super kuat itu.

"Baik-baik saja katamu ? Lucas membawamu berlari ke sebuah taxi yang lewat. Lalu menggendongmu ke bagian unit gawat darurat dengan keadaan terkulai lemas. Dan kau katakan dirimu baik-baik saja ?" Pam sedikit menaikkan suaranya. Astaga anak ini. Tidak tau apa kalau kita sedang berada di rumah sakit ?

"Baiklah. Tadi aku tidak baik-baik saja. Tapi sekarang aku sudah tak apa,  Pam." Aku berusaha meyakinkan Pam. Walau sebenarnya aku masih sedikit lemas, tapi akan lebih ribet lagi jika melihat Pam kembali mengomel untuk sekarang.

"Aku sudah menelpon keluargaku untuk menemanimu di rumah sakit semalaman ini. Jadi kau tenang saja. Tak perlu menyuruhku untuk cepat-cepat pulang."

Ngomong-ngomong tentang keluarga, ibuku bahkan belum kuberi kabar. Ia pasti uring-uringan mendengar kabar tentang kejadian mengerihkan beberapa jam yang lalu.

"Aku sudah menelpon keluargamu tepat sebelum kau bangun tadi. Mereka sedang dalam perjalanan. Jangan khawatir." Pam seolah-olah menjawab pertanyaanku.

"Kau tadi menyebut tentang Lucas yang membawaku kesini. Bagaimana dia ? Dimana dia sekarang ?"

"Itulah yang aku tidak tau. Ia mengantarmu ke UGD. Lalu ia menghubungiku melalui nomor tak dikenal, katanya ia meminjam telpon supir taksi. Saat aku sampai disini ia sudah tak ada. Aku bahkan menanyakan kepada perawat. Mereka bilang mereka tak pernah melihat Lucas disini sejak awal."

"Tunggu. Kau bilang perawat bahkan tak pernah melihatnya ? Kau yakin dengan kata-katamu ?"

"Yakin 100 persen. Aku bahkan menyebutkan ciri-cirinya secara detail. Tak ada satupun yang mengiyakan keberadannya."

Aku memilih diam. Jari jemari Pam tampak memainkan sisi seprai yang terangkat sedikit dari kasur, menyingkap matras putih di bawahnya.

"Kalau kau bilang perawat tak melihat Lucas, lalu bagaimana kau bisa tau siapa yang membawaku ke rumah sakit ?"

"Lucas. Ia sendiri yang bilang kalau ia sedang menuju ke rumah sakit bersamamu. Katanya kau tak sadarkan diri. Ia bilang kalau ia akan mengantarmu ke UGD."

Aku menjepit jembatan hidungku dengan jari telunjuk dan jempol. Sakit kepalaku tiba-tiba kembali lagi.  Rasanya seperti ada sesuatu yang membuat kepalaku berat dan hatiku tak tenang.

"Kalau kau berpikir hal itu aneh, maka kali ini aku sependapat denganmu." Pam menyeletuk. "Bagaimana mungkin mereka tak melihat Lucas. Sosoknya tinggi dengan kulit putih cemerlang. Rambut hitamnya yang terlihat lembut, rasanya seperti ingin kau elus. Jangan lupa dengan wajahnya. Sepertinya wajah itu dipahat langsung oleh dewa-dewa yunani sebelum ia lahir. Dan matanya. Mata biru sedalam samudra. Benar-benar teduh." Pam melanjutkan.

"Kau terdengar seperti memujinya dibandingkan menyebutkan ciri-cirinya." Aku memicingkan mata kepada Pam. Aku tak bisa menyalahkan Pam. Lucas memang sehebat itu secara fisik. Tapi tetap saja. Terdengar seperti orang mesum jika menyebutkan ciri-cirinya sedetail itu.

"Jangan cemburu, Margie. Aku tak akan merebutnya darimu. Aku sudah punya Daniel. Lagi pula menyebutkan ciri-cirinya sama saja dengan memujinya. Lucas memang sesempurna itu. Kau harus menerima faktanya."

"Tak ada yang cemburu disini, Pam. Jika kau masih berkutat dengan teori-teorimu yang mengatakan bahwa kami berpacaran, sebaiknya kau tinggalkan hal itu jauh-jauh karena itu tak akan pernah terjadi." Mengesalkan rasanya mendengar Pam membahas hal-hal menggelikan seperti itu.

"Kau tak pernah tau skenario-skenario takdir. Terkadang kau merasa bahwa hal yang kau lakukan sekarang adalah jalan yang benar. Tapi bisa saja hal benar yang kau lakukan sekarang menjadi jalan yang salah untuk kau lalui."

"Kau benar-benar terkena efek bom itu ya ? Tiba-tiba saja kau bijak. Aneh mendengarnya." Aku tak mengada-ngada saat mengatakan Pam bijak kali ini. Sama seperti Lucas tadi, pembicaraan yang dibawakan Pam terlihat serius.

"Oh iya, bicara tentang bom. Aku mau meminta maaf sebelumnya. Aku saat itu benar-benar panik. Jadi aku asal saja menarik tangan seseorang menjauh dari area itu. Saat sudah di tempat yang lumayan jauh, aku baru sadar yang kutarik lengannya adalah orang asing. Bukan kau. Maaf, Margie. Aku benar-benar panik." Pam tampak menyesal saat mengingat kejadian itu.

"Tak apa. Yang penting sekarang aku baik-baik saja. Kau baik-baik saja. Kita baik-baik saja."

Pam sepertinya akan menangis mendengar perkataanku. Aku memeluknya. Bahuku mulau basah seiringan dengan sesegukan kecik yang terdengar di telingaku. Pam menangis. Terisak dan memelukku semakin erat.

Kami berpelukan cukup lama. Terlihat seperti saudara yang salinv menenangkan. Tapi entah kenapa aku tetap tak tenang. Aku tak tau dimana Lucas.

"Pam. Tadi kau bilang Lucas menghubungimu kan ?" Aku melonggarkan pelukanku. Memberi jarak.

"Iya. Dia menelponku menggungakan telpon supir taksi katanya."

"Kau tau, ini benar-benar aneh."

"Apanya yang aneh, Margie ? Ia meminjam telpon itu. Semua masuk akal. Kau saja yang aneh."

"Bukan bagian itu, Pam." Napasku semakin sesak.

"Lalu ?"

"Ia tak punya ponsel. Ia tak tau nomormu. Ia tak tau nomorku. Aku yakin bahkan ia tak tau nomor siapapun. Bagaimana ia bisa menghubungimu ?"

"Kau mau tau bagian yang sedari tadi mengganjal pikiranku, Margie ?" Aku lamat-lamat menatapnya. Menunggu kalimat selanjutnya. "Aku bahkan mendengar suara Daniel. Kecil tapi cukup jelas untuk bisa kukatakan bahwa itu Daniel."

"Apa yang ia katakan ?" Jantungku berdegup kencang menunggu kalimat menggantung dari Pam.

"Entahlah. Sesuatu tentang 'kematian', 'kehidupan', dan juga namamu termasuk dalam percakapan singkat mereka sebelum sambungan terputus."

-tbc

CURSEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang