12

6 1 0
                                    

God loves her more than us. That's why he hugs her closer
_●_●_

2 hari setelah kejadian mengerihkan itu, semua benar-benar terjadi. Alana telah berpulang tadi pagi pukul 5. Bunda yang menelpon ibu secara langsung lantaran aku tak mau mengangkat panggilannya.

Sudah 2 hari pula aku begini. Meringkuk, berdiam diri, menangis dan tertidur. Sesekali aku keluar dari kamar hanya karena ibuku menyuruh makan.

"Margie. Kau sudah siap ? Kami ada di bawah jika kau sudah selesai." Ibuku mengetuk pintu dan berkata demikian di luar sana.

Aku memperhatikan diriku setelah memasang pita dikerah dari balutan gaun hitam selutut. Aku menyukai warna hitam. Tapi tidak untuk kali ini. Wajahku masih pucat. Rambut sebahuku sudah disisir rapi. Aku memakai mantelku bersiap untuk kebawah.

Suasana pemakaman berjalan tertib. Penyebab kematian Alana ternyata akibat kanker darah yang tentu saja pihak Caring House tak tau menahu.

Aku tak tahan melihat peti diturunkan ke dalam liang lahat. Aku berpamit pada Pam dan ibu. Aku berjalan perlahan meninggalkan rombongan.

Di gerbang pemakaman, aku melihatnya berdiri. Ia mengalihkan pandangannya sehingga tatapan kami bertemu. Ia tak merasa enak dan menunduk sambil menggaruk tengkuknya yang kuyakinin tak ada gatalnya sama sekali.

Aku sudah membulatkan hati. Perkataanku terlalu egois saat itu. Lucas tak berhak mendapatkan cacianku. Ia percaya dan aku tau kalau dia tak berbohong.

Aku menghampirinya. Suasana terasa canggung.

"Maaf"

"Maaf"

Kata-kata yang sama keluar disaat yang sama.

"Maaf Lucas. Aku tak seharusnya berkata seperti itu. Aku benar-benar hilang kendali saat itu." Aku menunduk. Kurasa aku akan segera menangis.

"Aku juga minta maat Margie. Aku percaya denganmu. Aku hanya ingin kau berpikir jernih saat itu."

Kami terdiam lagi.

"Kau tau Lucas. Dulu aku sangat tak peduli dengan yang namanya kematian. Aku berpikir untuk apa orang-orang menangisi kepergian orang lain ? Kurasa aku kena karma" aku tertawa pelan. Menyedihkan sekali.

"Semua orang akan mengerti seiring berjalannya waktu." Lucas menepuk bahuku pelan.

"Dan semua orang akan kehabisan waktu pada saat yang ditentukan." Kataku bersamaan dengan mengalirnya air mataku.

"Hey. Sudahlah. Aku mengenalmu sebagai Margie si manusia ceria yang tak peduli pandangan orang. Margie yang bebas. Bukan Margie yang cengeng"

"Lucas."

"Ya ?"

"Kenapa di dunia ini ada yang namanya kehidupan dan kematian ?"

"Karena semua harus dijaga keseimbangannya. Disetiap kehidupan akan ada kematian lainnya. Dan di setiap kematian akan ada kehidupan baru."

"Apa seseorang tak bisa hidup selamanya ?" Aku menatap Lucas yang kini tengah sibuk menghapus air mataku.

"Hidup abadi tidak sebahagia yang orang pikirkan. Kau harus melihat banyaknya kehilangan."

Aku tertawa mendengar perkataannya. "Kau berkata seolah-olah kau hidup abadi."

"Lupakan. Sekarang apa kau mau kutraktir eskrim ?"

"Lucas. Kita akan memasuki musim salju. Eskrim hanya akan memperburuk kondisiku."

"Coklat panas ? Aku akan mentraktirmu jika kau berhenti menangis. Kalau tidak, kau harus mentraktirku."

Aku tertawa. Lagi-lagi Lucas berhasil membawa moodku. "Iya. Mataku sudah sakit mengeluarkan air sial ini"

"Berhenti bersumpah atau kita kembali kepemakaman."

"Aku akan menangis lagi jika kau melakukannya."

Aku menyetarakan langkahku dengan kaki panjang Lucas. Jalanan tak terlau ramai hari ini. Tentu saja aku masih sedih mengingat Alana. Tapi Lucas benar. Kehidupan didampingi kematian. Sebuah keseimbangan yang membuat siapapun merasa tak adil.

Langkahku terhenti saat ponselku berbunyi. Pamela Brown. Aku mengangkatnya.

"Kau dimana anak nakal ?" Lagi-lagi ia menirukan gaya berbicara Bunda. Itu memang lelucon kami. Terlalu kasar tentunya.

"Aku berjalan ke toko coklat."

"Tega kau meninggalkanku sendiri." Aku menebak ekspresinya yang dibuat-buat sedih. Menggelikan.

"Kemari. Aku dapat traktiran dari seseorang. Secangkir coklat hangat setidaknya meredakan kesedihan."

"Wah. Margieku ternyata mempunyai 'seseorang'. Siapa dia ?"

"Jaga otakmu. Dia tidak ada apa-apa denganku. Hanya sebatas kenalan."

"Baiklah nona muda. Aku akan segera menyusul dan bertemu dengan 'kenalan'mu ini."

"Ya. Terserahlah."

Aku mematikan sambungannya dan segera mengirim pesan ke ibuku agar ia tak khawatir.

"Lucas ? Kenapa kau sekeras itu ?" Aku bertanya sambil berjalan beriringan dengannya.

"Keras ? Maksudnya ?"

"Kau berusaha keras membuatku melupakan hal-hal buruk. Kau juga menyelamatkanku dari situasi buruk."

"Oh itu. Entahlah. Melakukan kewajibanku mungkin ?"

"Kewajiban ? Kita bahkan baru kenal."

"Kewajibanku untuk melindungi orang lain atau pun membahagiakan. Bukankah manusia selalu ada saat temannya membutuhkan ?"

"Tempo hari. Kenapa kau tak menyelamatkan kakek itu ?"

"Ia bukan kewajibanku. Lagi pula aku tak mengenalnya. Dan aku tak pernah tau apa yang akan terjadi padanya."

Aku menghentikan langkahku karena tersentak.

"Kenapa ?" Ia menghentikan langkahnya juga. Ia tepat di depanku sekarang. Aku mengangkat wajahku, memandang matanya lurus.

"Kau bilang kau mengenalku. Kita baru berkenalan belum lama ini  Lucas. Dan kau tau ? Kau berkata seolah-olah kau tau apa yang akan terjadi padaku."

"Margie. Aku hanya bercanda. Kau tau bukan yang namanya kebetulan ? Aku kebetulan melihatmu malam itu. Dan aku kebetulan berjarak jauh saat kakek itu kecelakaan. Tentu saja aku tak punya kesempatan untuk menyelamatkannya ?"

"Baiklah. Kau benar. Semua hanya kebetulan."-atau mungkin kebenaran, kataku dalam hati.

Semua keganjalan ini tak mungkin hanya kebetulan.

-tbc

CURSEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang