13

2 0 0
                                    

Age is just a number. When death calls you, there will be nothing to stop the call

_●_●_

Coklat hangat memang yang terbaik untuk menemanimu dikala sedih. Tapi tidak dengan 2 orang yang sekarang sedang mengoceh panjang lebar di depanmu.

"Jadi kau siapanya Margie ?" Pam sudah melontarkan pertanyaan itu sebanyak 4 kali.

"Aku sudah bilang berkali-kali. Aku kenalannya. Kenapa kau tidak percaya ?"

"Lalu kenapa kau mengajaknya sesantai itu Luis ?"

"Lucas. Namaku Lucas."

"Jangan mengalihkan pembicaraan Lucifer ?"

"Aku mengajaknya karena aku akan menjadikannya temanku. Apa itu salah ? Dan tolong catat. Namaku Lucas. L U C A S. Asal kau tau, Lucifer adalah makhluk jahat dan itu tentunya tak sesuai dengan karakterku."

"Ya, terserah soal namamu. Tapi kenapa kau mengajaknya ? Apa kau suka dengan Margie ?"

Lucas tampak lelah dengan ocehan Pam. Anak itu memang memiliki kemampuan untuk membuat orang merasa tertekan. Cocok untuknya pekerjaan seperti polisi yang mengintrogasi.

Aku sedari tadi hanya diam sambil meneguk coklat panasku. Lucas mentraktirku dan Pam adalah sahabatku. Aku tak bisa menentukan untuk berpihak pada siapa sampai saat ini. Dan diam adalah jawaban paling baik tentunya.

"Margie. Bagaimana kau bisa tahan dengan manusia bernama Pamela ini ?"

"Diam Lucas. Margie berpihak padaku. Margie, bagaimana kau bisa mengenal makhluk ini ?"

Aku menghela napasku. "Teman-teman. Kalian sudah bertengkar kurang lebih 1 jam. Aku tak memihak siapapun okay ?"

Pam dan Lucas masih terlihat saling melempar tatapan sinis. "Oh ayolah. Kalian bukan anak kecil lagi."

"Aku akan meminta maaf kalau dia berterus terang tentang alasannya mendekati Margie." Pam masih dengan keputusannya. Terlalu sulit memang untuk membantah Pam.

"Baiklah. Aku akan jujur." Lucas terlihat mengalah. Sebenarnya aku juga penasaran tentang alasan Lucas yang selalu muncul tiba-tiba. Tapi aku tak boleh terlihat tertarik dengan pengakuan Lucas ini. Bisa-bisa harga diriku hancur.

"Aku benar-benar tidak sengaja lewat saat itu. Dia dalam bahaya. Lagi pula itu bukan pertama kali kami bertemu." Lucas mengatakannya dengan santai.

"Jadi kapan kau bertemu dengannya ?" Pam menatapnya makin curiga.

"Di rumah sakit." Aku menyelanya. Aku sudah cukup muak dengan perkelahian mereka. "Aku bertemu dengannya di lift rumah sakit. Aku ingat saat itu ia diseret keluar dari lift oleh kakaknya."

"V bukan kakakku." Aku menatap Lucas dengan penuh pertanyaan. Ia akhirnya pasrah. "Baiklah. V kakakku. Tapi aku tak suka mengakuinya."

"Baiklah. Aku percaya sekarang." Pam  mulai mengalah. "Tapi sekali saja kau membuatnya menangis, jangan harap kau mendapat restuku." Pam menggertak meja. Beberapa pengunjung menatap kami dengan tatapan aneh.

"Restu ? Maksudmu apa ?" Aku mulai curiga dengan pernyataan Pam barusan.

"Ya siapa tau kalian takut padaku. Lalu kalian pacaran backstreet." Pam menepuk punggungku. Aku memandangnya tak percaya. Bisa-bisanya ia berpikir seperti itu. "Aku sudah merestui kalian. Tenang saja."

"Pamela. Kau sahabat baik Margie ?" Lucas mengalihkan topik. Untung saja.

"Kami bahkan sudah seperti saudara. Dan ngomong-ngomong, panggil aku Pam saja untuk singkatnya." Pamela tampak sudah membaik. Anak itu cepat sekali beradaptasi.

"Siapa nama belakangmu ?" Lucas bertanya.

"Brown. Pamela Brown. Dan kau ?"

"White. Lucas White."

Pam dan Lucas akhirnya sudah berdamai dalam waktu yang singkat.

3 gelas coklat panas telah aku habiskan. Pam dan Lucas masih bercengkrama sesekali tertawa terbahak-bahak. Akan sangat aneh ketika kau ingat bahwa 2 jam yang lalu mereka sedang bertengkar.

Moodku sudah membaik seiring dengan lingkunganku yang mendukung. Tapi tentu saja aku tak bisa melupakannya langsung.

Alana.

Secepat itu ia pergi. Bahkan jika saja hari itu aku tak melihat tanda-tandanya, aku tak akan menduganya.

Aku masih memikirkannya terus. Hilangnya ingatanku di detik-detik kecelakaan. Kehadiran Lucas yang tentunya masih aku curigai. Dan mataku.

Apa yang mempengaruhi penglihatanku ini sepertinya bukan hanya efek samping dari kecelakaan. Semua ini tidak semudah itu terjadi hanya karena kebetulan.

Lamunanku buyar saat ponsel Pam berdering. Ia yang sedang berbincang dengan Lucas segera mengangkat ponselnya dan berjalan menjauh. Kutebak dari caranya senyum senyum pasti yang menelpon adalah pacarnya.

"Margie. Kau baik-baik saja ?" Lucas memulai pembicaraan yang sepertinya akan berlanjut serius

"Bohong kalau aku bilang aku baik-baik saja." Aku menunduk menatap tanganku yang saling menautkan jari-jarinya di atas pangkuanku.

"Kau tau ? Jika kau butuh sesuatu aku akan selalu ada untuk datang."

Aku tertawa pelan. "Lucas. Kau bahkan tak punya nomorku."

Lucas mengetuk meja.

"Apa ?" Aku bingung menatapnya melakukan hal yang sama.

"Ketuk saja meja atau apapun sambil sebut namaku dalam hati. Nanti aku datang."

Aku tertawa lagi. "Memangnya kau punya kekuatan apa ? Telepati ?" Kataku sarkas.

"Baiklah kalau kau memang tidak percaya. Kemarikan ponselmu."

Aku mengeluarkan ponselku dan memberikannya. Ia mulai mengetik sesuatu. Saat ia mengembalikannya, aku terkejut melihat apa yang tertera di ponselku.

Maaf. Aku belum punya ponsel. Mungkin nanti. Janji, kau adalah orang pertama yang akan kuberikan nomorku ;)

Ia menuliskannya dinoteku. Aku tertawa.

"Janji ya ?" Aku mengarahkan kelingkingku ke arahnya.

Ia menautkan kelingkingnya. "Janji." Katanya sambil tersenyum.

Ini adalah saat yang tidak tepat. Pam kembali ke dalam dan melihat kami bertatapan sambil tersenyum dan menautkan jari kelingking kami, yang tentunya membuatnya berpikiran aneh-aneh.

"Sudah kubilang jangan backstreet!"

-tbc

CURSEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang