“Sungguh, kamu tidak mendapatkan undangannya lagi?”
Nada suara Eungi mengandung kebingungan yang sulit ia sembunyikan. Ia memiringkan kepalanya, menatap Hoseok penuh selidik seakan mencari jawaban yang barangkali tersembunyi di balik sorot mata pria itu. “Padahal kalian dulu satu kelas, Hoseok. Dia kenal kamu lebih baik daripada sebagian besar teman lainnya.”
Hoseok hanya mengangkat bahu sambil terus berjuang dengan kemeja bermotif buah pisang yang tengah dikenakannya. Salah satu kancing bagian dada copot, membuatnya tampak frustrasi. “Mungkin dia masih menganggapku musuh bebuyutan abad ini.” Ia terkekeh kecil, meski tidak benar-benar lucu. “Yah, wajar sih.”
Di dekat ruang makan, Eungi meletakkan botol susu Hyuka di atas meja, lalu melangkah cepat ke arah westafel di mana Hoseok berdiri. Dari sudut matanya, ia bisa melihat si kecil Hyuka duduk manis di atas perlak, memainkan deretan pesawat mainan plastik yang tergeletak berjejer seakan hendak lepas landas. Bocah itu tampak sangat sibuk dalam dunianya sendiri.
“Masih membenci, padahal kejadian itu udah lama berlalu,” gumam Eungi, membuka kotak kecil di dinding yang berisi peralatan jahit. Ia mengeluarkan satu gulung benang cokelat dan jarumnya. “Apa sih susahnya memaafkan? Kita semua punya masa lalu yang malu-maluin.”
Hoseok menyerahkan kancing yang copot ke telapak tangan Eungi. “Kalau gitu kamu juga harus datang ke pestanya. Dia ngundang kamu, kan?”
Tangan Eungi mulai bergerak lincah, menusukkan jarum ke kemeja Hoseok dengan cekatan. Namun, tatapan matanya justru kosong, menerawang. “Itu beda, Sok. Kamu tahu sendiri—apa yang dia lakuin ke aku nggak semudah itu dilupain.”
Hoseok terkekeh kecil, memiringkan kepala. “Kamu terlalu serius. Hidup nggak seseram itu, Eun.”
Eungi mendengus. “Dan kamu terlalu santai, seperti biasa.”
“Kalau gitu kita impas,” jawab Hoseok cepat, namun nadanya tidak seceria biasanya. Ia menunduk, menatap kancing yang sedang dijahit Eungi. “Aku juga nggak akan datang. Bahkan kalau pun dia ngundang aku.”
“Karena kamu pengecut?” goda Eungi setengah mengejek, sambil menoleh ke arahnya. “Atau karena kamu takut ketemu mantan-mantanmu yang mungkin akan duduk baris depan?”
Hoseok memutar bola matanya. “Aku bukan pengecut.”
Eungi menaikkan satu alis. “Oh, jadi kamu bangga dengan gelar ‘Raja Patah Hati SMA’ itu?”
“Hey,” Hoseok melotot kecil. “Mereka yang datang sendiri. Aku cuma terlalu baik buat nolak.”
Eungi tertawa pelan, meski cengiran di wajahnya terlihat lebih sinis daripada lucu. Tapi momen itu tidak bertahan lama, karena detik berikutnya sebuah pesawat mainan tiba-tiba terbang dari arah ruang TV dan mendarat tepat di antara kaki mereka.
Tertawa lepas milik Hyuka langsung memenuhi ruangan. Bocah itu memekik girang, seolah ia baru saja memenangkan perlombaan lempar pesawat di olimpiade bayi.
“Hyuka ...” gumam Eungi, dengan wajah geli bercampur pasrah. Ia segera beranjak dari tempatnya dan mengambil botol susu di meja makan, lalu menghampiri si kecil. Ia duduk di sampingnya dan menyodorkan botol susu itu perlahan.
Hoseok diam menatap mereka. Ada bias hangat dalam sorot matanya yang tidak ia tampakkan secara terang-terangan. Dalam diam, ia memperhatikan cara Eungi menyandarkan tubuhnya ke belakang sambil menepuk pelan perut Hyuka, membiarkan bocah itu menikmati susu sambil tetap memegangi mainannya.
“Hey, Hyuka-ya,” Eungi mendekatkan wajahnya ke anak itu. “Kamu tahu nggak, kenapa ayahmu sekarang jadi lebih membosankan daripada dulu?”
“Yah!” protes Hoseok dari belakang. “Kamu ngajak ngomong bayi yang bahkan belum bisa bilang ‘noona’? Gila.”
Eungi menoleh, memasang wajah pura-pura tersinggung. “Daripada kamu, lebih mending dia. Paling nggak dia tertawa kalau diajak ngobrol. Kamu? Cuma bisa muter mata.”
Hoseok menyilangkan tangan di dada. “Bisa-bisanya kamu cemburu sama anak satu tahun.”
“Bukan masalah itu.” Eungi berdiri, menepuk celana panjangnya, lalu berjalan mendekati Hoseok. “Tapi kamu juga harus belajar. Dulu kamu orang yang paling hidup di kelas. Sekarang? Kamu datar kayak jalanan tol. Bahkan lebih banyak lubangnya waktu kamu masih SMA.”
Hoseok hanya mendengus. Lalu ia memutuskan untuk tidak menjawab dan kembali memakai sepatunya.
“Jangan-jangan kamu masih stres karena dicampakkan?” suara Eungi terdengar hati-hati tapi sengaja dibuat menyebalkan. “Masih sakit hati, ya?”
Pria itu bangkit, menghela napas kasar, dan tanpa bicara langsung berjalan ke arah Hyuka. Ia menunduk, mencium pipi si bocah satu per satu, lalu mengacak rambut hitam lebat itu. “Ayah pergi dulu, ya. Dengerin Eungi Noona dan jangan banyak ngerepotin.”
Hoseok berdiri dan melirik Eungi sekilas. Wajahnya datar, tapi sorot matanya seolah menyimpan banyak hal yang tidak sempat dikatakan.
“Oh, ya,” katanya, menyisipkan kedua tangan ke saku celana hitamnya. “Makasih, ya, karena masih mau bantu jagain Hyuka. Aku tahu kamu bisa aja berhenti kapan pun, tapi kamu tetap di sini. Aku akan kasih kamu bonus minggu depan.”
Lalu ia pergi begitu saja.
Eungi berdiri mematung. Jantungnya berdetak pelan namun berat. Setelah semua hal yang mereka lewati, kalimat tadi entah kenapa terasa menyakitkan. Ia tahu Hoseok tidak bermaksud begitu. Tapi tetap saja, terasa menyedihkan mendengar bahwa kebaikannya dihargai dengan... uang.
“Ck,” gumamnya. “Bonus, katanya. Ayahmu pikir aku di sini cuma karena pekerjaan.”
Ia duduk kembali di sebelah Hyuka. Menatap wajah polos anak itu, menyentuh pipinya perlahan.
“Kamu tahu nggak,” bisiknya. “Noona kadang berharap ayahmu bisa sedikit saja peka. Bukannya malah mengira semua ini cuma karena gaji.”
Ia menghela napas panjang, menatap ke arah pintu yang sudah tertutup rapat. “Apa kita nggak bisa balik jadi seperti dulu lagi?”
Dan ruangan itu kembali hening. Hanya suara napas Hyuka dan sesekali derik mainan yang berbunyi samar. Tapi dalam hati Eungi, riuhnya tak kunjung reda.[]

KAMU SEDANG MEMBACA
Beautiful Moment [JH]
FanfictionJung Hoseok pernah percaya pada cinta... sampai seseorang yang ia cintai memilih pergi. Sejak saat itu, senyum cerianya tak lagi sama. Ia lebih banyak diam, menyimpan luka yang tak pernah benar-benar pulih. Sementara Kim Eungi, gadis berhati hangat...