Moment 10

523 90 3
                                    

Hi, apa kabar?”

Eungi mematung. Bibirnya terkunci, saraf di tubuhnya seketika menjadi kaku, bahkan untuk memberikan segaris senyum saja rasanya sangat sulit. Melihat wajahnya begitu dekat, lantas membuat memori gadis berusia seperempat abad itu berputar kembali ke masa lalu. Masa di mana dulu ia pernah menyukai pemuda tersebut. Membuatnya menerima penghinaan dan menjadi bulan-bulanan karena dianggap tidak pantas memiliki perasaan itu. Bahkan dia, Kim Taehyung pun pernah melukai hatinya. Membuat suasana semakin keruh dan menjadikannya lebih menderita.

Seketika Eungi sangat menyesal karena bisa-bisanya berpikir untuk datang ke pesta ulang tahun orang yang sudah membuat masa mudanya penuh kesuraman. Rasa marah mendadak menguasai dirinya, sehingga ia berpikir untuk segera pergi. Namun, laki-laki berhidung bangir itu segera menyusul untuk menghentikan dengan memegang tangan Eungi.

“Ya, Eungi-ya!” Tanpa bicara ataupun menoleh gadis itu menepis keras tangan Taehyung. “Baiklah. Aku tahu kamu masih sangat marah padaku, tapi biarkan aku menjelaskan semuanya.”

“Untuk apa?” kilahnya memberikan tatapan sinis. “Lagi pula aku tidak lagi peduli dan semua itu tidak penting lagi.”

“Kalau begitu kenapa kamu harus pergi?”

“Karena aku benci melihat wajahmu. Mengerti?” sentaknya, yang bukan hanya ia saja yang tidak percaya dengan ucapannya sendiri, bahkan Taehyung pun tergemap. Ada sedikit rasa sakit yang mengusik perasaannya, sehingga ia terdiam seraya memejamkan mata untuk sejenak.

Yeah, aku saja yang bodoh. Tapi kamu harus tahu, setiap tahun aku mengirimkan surat undangan itu berharap agar kamu bisa datang. Aku hanya ingin meminta maaf, aku sungguh menyesal karena dulu bahkan sampai sekarang, aku masih sangat menyukaimu.”

Pernyataan Taehyung sontak saja membuat Eungi mengernyitkan kening heran, tidak habis pikir. Benarkah yang diucapkannya, tapi bagaimana mungkin? Pertanyaan itu lantas berputar di otaknya. Sulit dipercaya, karena dulu Taehyung jelas mengatakan tidak menyukainya, bahkan sampai menghina fisiknya.

“Jangan lagi mengelabuiku hanya untuk membuat lelucon baru. Aku bukan Eungi yang dulu.”

Ternyata interaksi mereka mengundang rasa penasaran tamu undangan yang lain, sehingga satu persatu dari mereka mulai membuat kerumunan.

“Tidak, aku berkata jujur. Aku memang menyukaimu. Kamu itu unik, lucu, dan membuatku tertarik.” Kemudian kedua telapak tangan Taehyung sudah bertumpu di masing-masing pundak Eungi. “Aku tidak berani berkata jujur karena aku takut. Malu kalau saja mereka malah menertawaiku karena menyukaimu. Untuk itu aku berbohong, maafkan aku.”

Eungi yang emosi—lebih merasa terhina—lantas menangkis kedua tangan Taehyung. Tatapannya fokus dengan binar kemarahan. Gadis itu tidak ingin menerima sanggahan apa pun lagi. Meskipun jika benar dia berkata jujur, tapi alasan dibalik tindakannya selama ini tetap saja sudah melukai hatinya.

“Sudah selesai?” Taehyung ingin berkata lagi, setidaknya membuat gadis di hadapannya itu mengerti walaupun hanya sedikit. Namun, Eungi kembali menyela, “Kalau begitu biarkan aku pergi, permisi.”

***

Eungi yang sangat kecewa dan marah, lantas menghabiskan waktu malam kali ini dengan berada di kedai sambil minum-minum sendirian. Padahal dirinya tidak bisa minum terlalu banyak, tapi gadis itu benar-benar nekat. Ia berpikir, jika sudah tidak bisa pulang sendiri, ia hanya tinggal menelepon Keni atau kakaknya. Yang ada dalam benaknya saat ini hanya ingin semua yang mengganggu pikirannya dan ingat-ingatan tentang Taehyung segera hilang.

“Aku benci Taehyung, aku benci,” racaunya yang masih setengah sadar padahal ia sudah terlihat mabuk berat. “Seharusnya aku mengutuknya menjadi kodok dan melemparkannya ke dalam rawa.”

Entah mengapa semua pernyataan cinta laki-laki itu sekarang terdengar muak. Rasanya benci saja karena sudah tertutup oleh sikapnya yang dulu. Hanya karena rasa malu, takut dihina, dan ditertawakan karena sudah menyukainya, dengan seenaknya Taehyung memutar balikkan fakta. Bahkan tidak ada sedikit pun hal yang laki-laki itu tunjukkan untuk membantunya saat orang-orang melakukan hal yang tidak sepantas itu padanya.

Dulu Hoseok, yang sama sekali tidak ia kenal, bahkan mau membantunya. Meskipun dari luar laki-laki itu terkesan berandal, tapi hatinya sangat hangat dan peduli pada orang lain. Kebaikan itu yang akhirnya membuat Eungi berteman baik dengan Hoseok, bahkan sampai sekarang. Meskipun beberapa tahun yang lalu Hoseok pernah menghilang tanpa kabar.

Namun, sekarang Eungi merasa semua pria itu sama saja. Suka mempermainkan perasaan wanita. Menyakiti dan memberi harapan palsu.

“Mereka sama saja, menyebalkan.”

Kepalanya tidak bisa lagi untuk tegap. Sehingga tanpa terkendali keningnya membentur atas meja. Ia sedikit mengaduh, mengusapnya, tapi kemudian sengaja menangkupkan wajahnya untuk sebentar saja memejamkan mata. Eungi lupa memberi tahu Keni atau Seokjin sebelum akhirnya benar-benar tertidur.

***

Ah, kepalaku,” Eungi merintih seraya memegangi kepala sesaat setelah tersadar dari tidurnya.

Pandangannya yang masih mengabur agak menyulitkan untuk memastikan di mana dirinya saat ini. Yang jelas ia merasakan ada seseorang tengah membuka gorden dan membuat cahaya matahari menerobos masuk ke ruangan tersebut.

“Gadis bodoh,” hardik orang itu yang nyatanya Eungi mengenal pasti suara tersebut. “Baguslah kamu sudah bangun. Bagaimana rasanya mabuk-mabukan, enak bukan?”

“Ka-kakak.” Eungi berusaha membuka matanya lebar-lebar, dan setelah berhasil ia akhirnya bisa meyakini diri bahwa sekarang sedang berusaha duduk terhuyung di tempat tidurnya sendiri. “Ah, syukurlah. Tapi kepalaku pusing sekali.”

“Kamu itu benar-benar ceroboh.” Seokjin kembali mengomel, kali ini menghampiri dan duduk tepat di samping Eungi. Sebelumnya ia sudah menyiapkan gyeondoyo-bar, es krim rasa grapefruit dengan tambahan jus kismis, untuk sekedar menghilangkan rasa pengar, yang ditaruhnya di atas nakas. “Bagaimana jika ada orang yang jahat dan memanfaatkan keadaanmu yang tidak sadarkan diri semalam karena mabuk, hah?! Untung saja Ibu sedang tidak ada di rumah karena harus mengurus Nenek yang sedang sakit. Kalau tidak, maka habislah dirimu.”

“Tidak bisakah kamu bertanya lebih dulu sebelum menghakimiku? Dasar kejam,” gerutu Eungi yang untuk memulai minum saja rasanya sulit karena kakaknya itu terus saja berbicara.

“Aku? Kamu yang bodoh. Aku tidak bisa memaafkan diriku sendiri jika terjadi sesuatu denganmu. Lagi pula kenapa kamu tidak menghubungiku?”

Refleks Eungi mengernyitkan kening, menatap bingung pada Seokjin. “Apa? Ja-jadi bukan kamu yang membawaku pulang?”

Belum sempat Seokjin menjawab pertanyaan Eungi, seseorang tiba-tiba masuk karena kebetulan pintu kamarnya yang terbuka. Dia datang tanpa canggung sedikit pun sambil berkata, “Ouh maaf, tapi aku kesulitan menemukan gula. Bisakah kamu membantuku sebentar saja?”

“Kamu?!” sentak Eungi yang tidak percaya akan melihat pemuda itu di dalam rumahnya.

Sementara dengan santainya, laki-laki itu tersenyum lalu menyapa, “Hi, selamat pagi!” []

Beautiful Moment [JH]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang