Jika jatuh cinta bisa membuat orang menjadi buta dan bodoh, maka Kim Eungi lebih memilih untuk tidak jatuh cinta selamanya. Baginya, cinta hanyalah luka yang menoreh dalam, menyisakan derita yang tak kunjung sembuh. Ia bahkan bertanya-tanya, kapan cinta benar-benar bisa menghadirkan bahagia? Anehnya, Jung Hoseok masih saja mampu membela Jeon Marrie sedalam itu—padahal wanita itu pernah menghancurkannya.
Pikiran-pikiran itu masih terus bergelayut, bahkan terbawa hingga ke tempat kerja. Di sudut sebuah minimarket 24 jam yang tak pernah benar-benar sepi di kawasan Mapo-gu, Seoul, Eungi duduk di balik meja kasir. Wajahnya ditekuk, dagunya bertumpu pada telapak tangan, sementara layar monitor di depannya menyala redup tanpa diperhatikan. Di luar, gemerlap lampu jalan memantul di kaca etalase, sesekali terdengar bunyi bel sepeda atau deru mobil yang melintas.
Suara pintu otomatis yang terbuka tak menggugah kesadarannya. Seorang pemuda bertubuh tegap mengenakan jaket biru gelap masuk dan melangkah menuju lemari pendingin. Ia mengambil dua kaleng minuman lalu menuju kasir. Tanpa berkata apa-apa, ia letakkan kaleng itu di meja.
Tak ada sambutan. Gadis di depannya masih tenggelam dalam lamunannya.
Pemuda itu mengernyit, tapi tak berkata apa pun. Lima menit berlalu, dan Eungi masih seperti patung: diam, tak berkedip, menatap kosong.
Dengan helaan napas, pria itu membungkuk, menyandarkan kedua sikunya ke meja kasir. Dagu ditopangkan, menirukan posisi si gadis. Masih belum ada reaksi. Ia pun mendekatkan wajahnya pelan-pelan, jaraknya kini tak lebih dari lima jari.
Detik berikutnya—
“KYAAA!” Eungi menjerit kaget, sontak menarik tubuhnya ke belakang dan hampir menjatuhkan kursinya. Matanya membelalak saat melihat pria itu tersenyum tipis, lalu kembali berdiri santai, seperti tak terjadi apa-apa.“APA-APAAN INI?! Kau berniat jahat padaku, ya?!” pekiknya. Matanya panik menoleh ke kanan-kiri, mencari keberadaan bos atau pelanggan lain. Namun, minimarket itu sedang lengang. Hanya mereka berdua.
“Mungkin,” jawab pria itu ringan, nada suaranya nyaris terdengar menggoda. “Kalau kamu tidak menyadarinya lebih dulu.”
Tubuh Eungi menegang. Tangan dan lututnya bergetar. Ia mulai melirik sekitar, mencari benda yang bisa dijadikan alat pertahanan. Matanya menangkap gagang sapu di pojok rak rokok.
Baru saja ia hendak meraihnya, pria itu menukas, “Berpikirlah sebelum bicara. Aku cuma ingin membayar dua kaleng minuman itu. Apa kamu tidak melihatnya?”
Eungi melirik ke meja. Benar, dua minuman dingin ada di sana, manis dan tenang menunggu untuk di-scan. Malu, wajahnya memerah. Ia menghela napas panjang, lalu bangkit berdiri dan mulai menghitung harga dengan tangan gemetar.
Suasana minimarket itu terasa sunyi, hanya ditemani suara lembut musik instrumental dari speaker di langit-langit.
“Omong-omong, berkonsentrasilah saat bekerja,” lanjut pria itu, menyelipkan kaleng-kaleng ke dalam kantung plastik. “Untung saja aku yang memergokimu sedang melamun hal kotor. Bagaimana kalau orang lain yang benar-benar jahat masuk dan berniat buruk?”
“Apa?!” Eungi menatapnya tak percaya. “Aku tidak sedang melamun hal-hal kotor! Jangan menuduh yang bukan-bukan!”
Pria itu tertawa singkat, seperti mengejek. Suara tawa yang dalam namun ringan. Ia menenteng kantung belanjaannya lalu bersiap pergi.
“Tenang saja,” ucapnya sambil menepuk dua kali pundak Eungi, “kalau kamu butuh seseorang untuk menyalurkan lamunan kotormu itu, panggil aku saja.”
“YA!!” bentak Eungi, wajahnya merah padam karena kesal. Tanpa pikir panjang, ia mencopot sebelah sepatunya dan melemparkannya ke arah pemuda itu. Namun, pria tersebut dengan sigap menangkapnya—seolah tahu serangan itu akan datang.
Alih-alih mengembalikan, ia justru membalikkan badan, menggenggam sepatu putih itu dan berjalan menuju pintu.
“SEPATUKU!” teriak Eungi dengan nada tak percaya.
Pemuda itu menoleh sambil tersenyum kecil. “Kamu yang membuangnya duluan, jadi sekarang ini milikku.” Lalu pintu otomatis terbuka, dan pria itu melangkah keluar.
“Ergh .…” Eungi mengepalkan kedua tangan, menahan emosi yang membuncah di dadanya. “Awas saja kalau aku bertemu lagi denganmu. Aku tidak akan memaafkannya!” []

KAMU SEDANG MEMBACA
Beautiful Moment [JH]
FanfictionJung Hoseok pernah percaya pada cinta... sampai seseorang yang ia cintai memilih pergi. Sejak saat itu, senyum cerianya tak lagi sama. Ia lebih banyak diam, menyimpan luka yang tak pernah benar-benar pulih. Sementara Kim Eungi, gadis berhati hangat...