Moment 7

557 105 11
                                    

“Bukankah Ibu sudah katakan berkali-kali untuk keluar saja dari pekerjaan itu dan cari waktu kerja yang lebih efisien lagi?” Seo Jung memulai ceramahnya setelah tahu jika putrinya itu sedang sakit, dan kondisinya lebih buruk dari yang Eungi kira karena gadis itu sekarang benar-benar tidak punya tenaga barang sedikit saja bangun dari tempat tidurnya. Demam di tubuhnya meninggi, flunya semakin berat dan kepalanya terasa sangat pusing—hingga berkunang-kunang. “Tidak baik terus terkena angin malam di cuaca mudah berubah seperti sekarang ini. Tidur tidak teratur, dan bekerja dari pagi sampai malam. Hah ... kamu ini memang keras kepala.”

Dengan cekatan Seo Jung mengompres kening Eungi, mengukur suhu tubuhnya dengan termometer, diselangi memberikan obat. Sementara yang sedang berbaring sakit tidak berkata sama sekali. Berpikir sendiri jika saja ibunya tahu jika kondisi tubuhnya yang semakin ambruk itu karena hujan-hujanan setelah bertengkar dengan Hoseok, entah apa yang akan Seo Jung lakukan. Sudah dipastikan wanita itu akan semakin tidak menyukai Hoseok.

“Pokoknya Ibu tidak mau tahu, setelah sembuh nanti kamu harus segera mengirim surat pengunduran diri,” putus Seo Jung yang ingin sekali diprotes oleh Eungi, tapi ibunya buru-buru melanjutkan. “Oh, ya, satu lagi. Berhenti melakukan pekerjaan sosial untuk Hoseok dan anaknya itu. Kamu ini seorang sarjana, jadi carilah pekerjaan yang sesuai dengan gelar yang kamu miliki. Mengerti?”

“Ibu—”

“Tidak ada bantahan. Keputusan Ibu sudah bulat,” tukasnya lalu beranjak dari duduk dan keluar dari kamar Eungi sambil membawa mangkuk berisi air yang tadi digunakan untuk mengompres.

“Ah, Ibu,” keluh Eungi yang malah membuat kepalanya tambah pusing. Memijat pelipisnya berkali-kali. “Kenapa Ibu tidak mengerti juga?”

***

“Hyuka-ie, tunggu sebentar. Ayah sedang berusaha membuatkan susunya lebih cepat,” kata Hoseok mencoba menenangkan putranya sebab sejak tadi ia sibuk, Hyuka terus saja menangis.

Repot sekali rasanya karena pagi-pagi sekali ia harus mengurus dirinya juga Hyuka sebelum berangkat kerja. Sedangkan sejak Eungi mengiriminya pesan dan mengatakan jika gadis itu tidak bisa datang, Hoseok tidak lagi bertanya. Ia pikir Eungi butuh waktu sendiri dan keadaannya sedang tidak baik. Percuma saja jika Hoseok menjelaskan sekarang-sekarang karena sahabatnya itu pasti tidak akan mau mengerti. Itu sebabnya Hoseok memilih untuk mengabaikan, barang sebentar saja. Namun, Hoseok begitu merasakan bagaimana jika Eungi terus tidak datang, ia pasti akan selalu kewalahan seperti sekarang. Bahkan saat ini pun Hoseok bingung harus menitipkan Hyuka pada siapa, sementara dirinya bekerja.

“Oh, apa yang terjadi?!” seruan itu tiba-tiba datang dari arah pintu masuk yang membuat perhatian Hoseok teralihkan. Nyatanya lelaki itu sempat mematung ketika tahu jika wanita yang baru saja masuk adalah Marrie. Tanpa ragu, bahkan dengan luwesnya Marrie meletakkan jas dokternya di sofa yang lantas merengkuh Hyuka dalam pelukannya. Berusaha menenangkan bayi itu dengan tangan lembutnya seorang ibu. “Kamu pasti lapar? Oh, sayang ... kasihan sekali.”

Kedua manik matanya kemudian beralih menatap Hoseok yang malah memerhatikan mereka. Senyumnya lantas merekah, mengambil langkah untuk mendekat dan mengambil sebotol susu yang berada di tangan Hoseok. Barulah setelahnya Hyuka bisa tenang.

Hoseok yang seperti baru tersadar refleks merasa canggung. “Oh, kenapa kamu ada di sini?”

“Apa salah? Aku yakin kamu sedang keropatan, dan lagi pula aku ingin menawarkan sesuatu.”

Kening Hoseok mengernyit. “Maksudmu?”

“Aku sudah mengatakannya semalam, bukan, jika aku ingin mengganti semua waktu yang sudah hilang bersama kalian terutama putraku Hyuka. Aku ingin berperan sebagaimana mestinya seorang Ibu merawat buah hatinya. Aku harap kamu tidak berubah pikiran dan melarangku untuk itu.”

“Tapi, kamu juga memiliki kegiatan lain, bukan? Apa tidak masalah jika menjaga Hyuka seharian selama aku bekerja?”

Marrie tersenyum dengan artian mengerti kekhawatiran yang saat ini dirasakan Hoseok. “Kamu tidak perlu merasa cemas. Di rumah sakit ada ruangan khusus penitipan anak, di sana tempatnya sangat aman karena ada suster-suster yang menjaga mereka. Selain terjamin, Hyuka juga akan bertemu teman baru. Dia bisa bermain sambil belajar, bagus bukan?”

Lelaki itu terdiam. Merenung sambil berpikir dan merasa jika selama ini dirinya benar-benar tidak berguna. Tidak bisa menjamin semua kebutuhan dan kebahagiaan putranya. Sehingga ia tidak bisa menolak jika semua yang dikatakan Marrie merupakan kebaikan untuk Hyuka.

“Baiklah.”

Marrie pun akhirnya bisa tersenyum lebar karena Hoseok menyetujui usulnya.

“Oh, ya. Kamu pasti belum sarapan, bukan? Bagaimana kalau kita cari makan di luar saja?” Sekali lagi Hoseok mengangguk menyetujui, meskipun ada perasaan ragu yang masih mengusik hati dan pikirannya.

Masa lalu mereka memang penuh dengan kenangan. Manis dan pahitnya sudah pernah mereka rasakan. Pengorbanan, perjuangan cinta itu tidak bisa dikatakan hanya sebatas isapan jempol belaka. Mereka pernah saling berjanji, tapi keadaan tidak bisa membuatnya bersama. Aku sudah berusaha melupakan kamu, tapi kenapa kamu harus kembali? []

Beautiful Moment [JH]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang