14. Here With You

2.6K 240 13
                                    

.

Sinar matahari tak seterik biasa, pun dengan hamparan pasir halus yang menjadi alas tidurnya. Hangat, menenangkan. Sesekali, debur pelan ombak pantai yang surut membasuh kakinya mencapai betis, kemudian mundur menarik diri untuk berbaur dengan lautan. Di atas sana, langit menyaru sewarna. Kawanan burung membentuk titik-titik putih diantara warna biru muda sementara beberapa ekor memilih terbang menepi, agaknya berniat mendarat di permukaan air.

Jungkook terlentang nyaman menikmati semua itu. Mulai dari berlari kencang menyapa laut, tak peduli sendalnya terlempar berlawanan arah, berguling hingga kausnya dipenuhi pasir, menendang-nendang deburan yang datang ke pantai, hampir menceburkan diri jika tak dicegah oleh pemuda yang berteriak dari arah belakang, kemudian tergolek puas seperti anak kecil yang puas bermain.

Kepalanya beringsut di perut Taehyung yang rebah bagai kue jahe, seolah tak peduli akan gerak mengganggu tiap pemuda itu beringsut ribut. Semua masih terasa seperti masa remaja. Sudut pantai yang nyaris selalu sunyi, cuaca yang menyenangkan, pasir yang masih terlihat berkilau, juga pemuda yang sedang bersamanya.

Sepasang mata coklatnya memejam, akhirnya menyerah pada silau—juga hembus angin yang membawa kantuk. Sudut-sudut bibirnya terangkat tinggi, bersenandung menikmati bagaimana jari-jari Taehyung memainkan anak rambutnya. Satu lengan lain terentang kosong, walau tetap bereaksi sesaat setelah Jungkook mengaitkan jemari.

"Aku ingin terus seperti ini," gumamnya lirih, sejenak mengangkat kepalanya dari perut Taehyung dan berbaring tengkurap sambil membuka mata. Kuku telunjuknya bermain dengan kulit pergelangan Taehyung yang bergeming memalingkan wajah, "Aku tidak mau terus bersembunyi dan berpura-pura, ingin bisa pulang ke Busan tanpa diceramahi macam-macam, ingin bisa jalan-jalan seperti dulu tanpa harus memakai tudung baju dan masker wajah," selorohnya, berdecak sembari menopang dagu, mata lurus menatap seniornya disertai senyum kecut. Pelototan Hoseok saat dirinya berkata ingin bepergian bersama Taehyung tak membuat nyali Jungkook ciut dan balik kucing. Satu hari. Dia hanya minta satu hari, meski akhirnya harus ditemani Hobeom yang sekarang tengah menelepon di seberang pantai. Anak rambutnya berlarian menutup sebagian dahi, menggelitik naluri rekan seatapnya untuk mengulurkan tangan dan menepikan poni hitamnya dengan sayang.

Jungkook masih sangat muda ketika rekan-rekannya bertamu ke rumah, beramah-tamah dengan orangtua dan kakaknya sebelum Jungkook berangkat ke Amerika demi les sparta menari atau apapun namanya. Jungkook masih empat belas tahun saat dirinya menyeret Taehyung bersepeda ke satu bagian tepi laut yang disebut tempat rahasia, hasil bisikan Junghyun yang sering menggunakannya sebagai tempat persembunyian jika lari dari hukuman sang ayah, sebagai tempat belajar menjelang ujian negara, juga sebagai markas bermain paling indah yang pernah dimiliki anak seusianya. Berlari dengan kaki telanjang, berteriak sepuas-puasnya tanpa ada yang memarahi, melampiaskan beban bercampur bosan sepulang sekolah, dan mengulang kegiatan yang sama meski telah beranjak dewasa. Junghyun akan menjemput Jungkook memakai sepeda, tak jarang ikut berjalan kaki atau bahkan berhujan-hujan sampai sakit kepala. Yang manapun adalah memori yang tak pernah pergi dan Jungkook ingin Taehyung juga turut andil dalam deretan kenangannya.

Jungkook bukanlah siapa-siapa bagi dunia, hanya seorang pemuda tanggung yang mencapai sedikit ketenaran di atas rata-rata. Tak banyak mengubah kepribadian maupun tingkah, namun cukup untuk mengekang mereka dari sejumlah hal dan kebiasaan.

Tanpa sadar, Jungkook menghela napas.

Telapak tangan Taehyung yang besar kembali mendarat di atas kepalanya, menyisir kulit di sela-sela rambut dengan lembut. Sekejap membuat perasaannya berangsur ringan dan Jungkook mendesah lega.

Diputarnya mata menatap pemuda itu, pada bola mata Taehyung yang hampir kelabu tertimpa sinar, juga tulang pipinya yang semakin kokoh. Dalam lima tahun sejak debut pertama, Taehyung tumbuh jauh dari jangkauan dan menjalin pertemanan ke segala arah dengan caranya sendiri. Keraguan akibat tak mampu memantau kadang membuat Jungkook sangsi meski dia tak berniat posesif, bertahun-tahun dihujani perhatian tentu mendorong sisi egoisnya untuk tetap meminta hal serupa. Namun sedekat ini, dengan Taehyung yang bergeming, yang balas memandangnya dalam diam, tersenyum lebar dari telinga ke telinga, kemudian menurunkan buku jari untuk mengelus pipinya, Jungkook berniat percaya bahwa sorot pemuda itu tak pernah berubah.

"Kita masih punya banyak mimpi. Kau, aku, bersama segala ide yang ada di kepalamu," ibu jari Taehyung menyeka bibir bawahnya dengan begitu hati-hati, "Dua atau tiga tahun lagi. Jika panggung itu tidak lagi membuatmu tersenyum, jika kesabaranku tak lagi bisa menunggu, dan jika perasaanmu masih sama seperti saat ini."

Mengulum dinding mulut dengan gamang, Jungkook beringsut mendekat. Dijentiknya pelan dagu pemuda itu sembari memejamkan mata sewaktu hidung Taehyung menyentuh telinganya.

"Aku sayang padamu, Jungkook-ah," bisik Taehyung lirih, senyum berangsur menjadi tawa tak bersuara, "Dan suatu hari, aku berjanji akan membuat semua orang tahu tentang hal ini."

Desir ombak menimpali racaunya yang tertelan selagi senandung pelan Taehyung mengantarnya tenggelam dalam kantuk. Mungkin risaunya belum akan berakhir dan berbagai macam pikiran akan terus mengintai, tapi setidaknya seseorang selalu bersedia membawanya menjauh dari ketakutan sebelum dia jatuh terlalu dalam.

Taehyung tak butuh menerangkan jawaban dan Jungkook telah mendengar lebih banyak dari sebuah penjelasan.

.

.

BANGTAN - The DormsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang