8. Just One Day

3.1K 327 10
                                    

.

Daripada disebut sebagai tertua kedua, menurut Yoongi, dirinya lebih pantas disebut sebagai satu ayah dari enam orang anak. Dan dibanding lima makhluk berisik lainnya, anggota sulung mereka justru lebih butuh diperhatikan. Setidaknya menurut Yoongi yang terlalu kenyang membaca situasi.

Pria beraut rupawan itu selalu terlambat tidur, bangun pagi buta, selalu makan lebih banyak, minum hingga mabuk total, juga yang membuat Yoongi beranggapan jika separuh umurnya lenyap untuk menegur dan menasehati Seokjin. Yoongi sanggup menyuruh junior-juniornya mengatur sikap atau meminta mereka berhenti bermain sekedar berbekal kalimat, 'Taehyung-ah, matikan televisinya,' atau, 'Jungkook, masuk kamar dan belajar.' Namun dia tak mungkin melakukan hal yang sama pada Seokjin. Yoongi memilih bungkam jika senior yang hanya berselisih beberapa bulan darinya itu mulai meracau sambil memeluk dan beringsut merapat seperti saat mereka masih menghuni kamar pengap dengan ranjang-ranjang bersusun dua, kemudian berakhir dengan Yoongi yang mendorongnya agak keras ke arah Namjoon lalu menjitak kepala Jimin dan Taehyung bergantian karena risih mendapati kedua pemuda itu meniru tingkah Seokjin dengan bergelayut manja di masing-masing bahunya.

"Kalian mau mati? Pergi sana!"

"Hyung pelit."

Dua hingga empat kali sehari, Yoongi akan mengirimkan pesan singkat pada ponsel Seokjin 'Pulang sebelum jam sebelas,' atau, 'Makan yang benar,'  jika Seokjin harus menghadiri kuliah di sela jadwal promosi, dan sesering itu pula Seokjin mengacuhkan. Sosoknya akan muncul di pintu asrama menjelang pukul dua dini hari, suara berat diselingi kuap, dipapah oleh manajer mereka, lalu terseok sebelum ambruk di sofa depan. Meringkuk pulas berhias seringai lebar. Bukan hal langka memergoki Seokjin berdiri dengan kepala menengadah di sudut kamarnya, menopang dagu pada bingkai jendela, menatap kosong entah kemana dan sesekali menggosok lengan yang hanya berbalut piyama. Yoongi memperhatikan dengan tangan terlipat, menahan diri mengucapkan selamat pagi, diam-diam berjalan keluar, lalu memanggil Jungkook yang baru bangun tidur agar mengikutinya masuk. Menit berikutnya, kamar besar itu akan dipenuhi kekeh nyaring Seokjin yang spontan berbalik begitu sepasang lengan mendadak memeluk pinggangnya dari belakang, disusul sebentuk pipi empuk yang digosokkan ke punggungnya dengan mengantuk. Yoongi tetap bersandar di pintu, tersenyum samar selagi Namjoon mengintip sambil menggeleng-gelengkan kepala.

Kadang jika Jimin melapor panik lewat telepon bahwa Seokjin menghilang sejak pagi dan tak terlihat dimanapun, Yoongi akan menyerahkan sisa pekerjaannya pada sang manajer dan bergegas pulang tanpa banyak bicara. Dan sembari menggulung lengan kausnya menuju dapur, Yoongi sigap mengambil nampan, memanggang beberapa tangkup roti, menuang kopi, menata dua kaleng selai di samping cangkir, lalu memanjat naik dari balkon kamar menuju pucuk atap, bagian tertinggi berjarak sekian kaki, tempat Seokjin duduk bersila seperti orang bodoh dan hanya berkedip polos saat Yoongi menghampiri.

Setajam apapun dirinya memasang mata pada keseharian Seokjin, ada saat dimana Yoongi membiarkan pria itu menikmati waktu untuk menyepi. Seperti saat Seokjin bergelung nyaman di sofa, ditemani sekotak besar susu stroberi sambil menggenggam ponsel dan bergumam lirih, 'Iya, aku juga merindukan ibu,' saat Seokjin menguleni sesuatu di tengah dapur dan berteriak menyuruh Jungkook berhenti mencicipi, saat Seokjin meletakkan beruang Teddy pemberian ayahnya di samping meja dan mengadu pada boneka itu selama berjam-jam di ruang tamu, juga saat pria itu berjalan mengelilingi asrama, bertelanjang kaki sambil menenteng sepatunya dan berputar-putar seperti orang gila. Ketika Seokjin ingin melakukan hal yang dia inginkan, tanpa memperdulikan apapun dan siapapun, Yoongi hanya akan berdecak pasrah sembari menjegal Jungkook yang hendak melompati jendela agar tak melakukan hal yang sama.

Yoongi berpikir dia mampu mengatasi semua keributan yang ditimbulkan pria itu. Berjaga di belakang Namjoon, menjadi pengingat sekaligus lengan tambahan bila kedua sayap kebanggaannya terhuyung menahan beban.

Hingga satu saat dimana malaikat berbaik hati pada Yoongi yang nyaris ingin berhenti peduli, mengurungkan niat serta gerakan jarinya yang belum sempat mengirim peringatan pulang lebih awal, tepat ketika Seokjin muncul dari pintu depan. Pukul delapan malam. Wajah lelah namun terlihat segar, tanpa manajer di sebelahnya, jas terlipat dan disodorkan pada Jimin yang sama terkejutnya. Kaki pria itu melangkah menapaki ruang tengah usai melepas sepatu dan menepuk bahu Yoongi yang terpaku memegang cangkir kopi.

"Tak perlu pasang muka seram begitu, Yoongi-ah," gumam Seokjin, mengerling sekilas, "Aku baik-baik saja."

Atau pada kesempatan sangat langka sewaktu Yoongi keluar dari kamar mandi dan berniat menjulurkan kepala ke arah pembatas ranjang Seokjin, ingin membangunkan—hanya untuk disambut oleh seorang pria yang sudah duduk memeluk bantal di tumpukan selimut, tubuh oleng tak seimbang dengan mata redup bercampur kantuk, tersenyum lebar sembari melambaikan tangan menyuruhnya mendekat. Juga di tengah hening saat Yoongi perlahan menghampiri dan mendengus heran di depan pria itu, memandang senyumnya yang begitu sumringah, damai, bersama sorot mata yang hampir tak pernah lagi ditunjukkan pada adik-adiknya sejak media mulai mengenal mereka.

Lengannya terentang meraih kepala Seokjin lalu menyandarkan dahi pria itu di dadanya, tak peduli walau dia tak pernah melakukan ini sebelumnya karena merasa sentuhan kasih sayang hanya berguna untuk mereka yang berjiwa lemah. Yoongi bukan ahli memberi wejangan seperti Hoseok dan bukan seorang pendengar setia layaknya Jimin, namun benaknya selalu mengingatkan bahwa sesedikit apapun jarak usia antara dirinya dan Seokjin, pria itu tetaplah kakaknya. Satu-satunya yang berhak berucap tanpa formalitas pada Yoongi, satu-satunya yang merasa perlu bertanggung jawab meski tak seharusnya, juga satu-satunya yang berani memarahi seluruh penghuni asrama dan selalu menyembunyikan masalah dengan berbuat konyol karena sadar tak ada yang bisa dipanggil dengan sebutan hyung diantara mereka.

Dan sewaktu Seokjin mendesis lirih, memaksakan satu lengannya terangkat menepuk lengan Yoongi sambil membisikkan terima kasih, Yoongi sempat ingin menjawab sekenanya seperti meminta pria itu membayar dengan secangkir kopi panas setelah mandi. Namun seperti biasa, diurungkannya kalimat tersebut seraya menghela napas dan melepaskan Seokjin yang balas tertawa renyah.

Mungkin lain kali, pikirnya.

___


BANGTAN - The DormsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang