12. Better Than Thou

3.1K 283 19
                                    

.

Rasanya cukup sopan dengan tidak memotong pembicaraan meski posisinya tepat berada di tengah. Menjadi pembatas hidup bagi dua orang yang bercakap-cakap layaknya dunia milik berdua—atau lebih jelasnya, satu diantara mereka berperan sebagai pencetus obrolan, lalu mendominasi arah kalimat hingga berlanjut panjang. Yoongi tak berniat, atau katakanlah, masih punya sedikit kepedulian untuk bergeming di tempatnya dan membiarkan Sejun berceloteh tanpa henti pada Jimin yang selalu menanggapi dengan antusias. Mulai dari kesibukan sehari, jam latihan, daftar sarapan, menu makan siang, sampai hal-hal tak berguna seperti mitos memakai sepatu dari kaki kiri terlebih dahulu. Yoongi terdiam menatap kaca, pura-pura menggaruk pelipis, memeriksa ponsel, atau iseng membalas pesan dari manajer yang berada di luar ruang tunggu. Lobi stasiun televisi mendadak terasa kurang nyaman dan sofa yang diduduki seperti menyusut tiba-tiba. Pemuda bertubuh jangkung di sebelahnya tampak enggan meminta bertukar tempat, seolah menikmati bagaimana raut wajah Yoongi berangsur masam karena tak diberi kesempatan menimpali celetuk Jimin walau hanya sepatah. Jin yang sibuk mencoba melantunkan nada rendah di seberang pun tak ambil pusing untuk menoleh lagi karena, menurutnya, pemandangan senior dan junior berbeda tim itu sangatlah lucu.

Bukan Yoongi tak ingin melihat langsung cengir lebar Jimin beserta mata minimalisnya yang otomatis menghilang saat tertawa. Bukan Yoongi tak berminat menjulurkan tangan ke arah gundukan rambut pemuda itu dan mengacak-acaknya seperti kebanyakan orang. Bukan dia tak tergoda untuk mencubit pipi bulat itu dan menarik-nariknya seperti mantau yang sering dimakan Jungkook sebagai camilan, juga sedikit menyentuh entah di bagian apa. Yoongi adalah laki-laki biasa yang juga memiliki kemauan meski tersirat, tetap gemar berkelakar meski sebentar, dan tetap mempunyai hasrat walau tertahan. Namun jika junior yang juga mengaku sebagai penggemar terbesar Jimin di seluruh penjuru dunia itu tahu-tahu menghampiri mereka dan langsung memposisikan diri di dekatnya begitu diijinkan bergabung, Yoongi hanya akan balas menghela napas dan memilih untuk bersandar mundur sambil berdecak. Perbedaan antara bersikap dewasa dan menahan napsu mencekik manusia hanya terletak pada jumlah hurufnya. Alasan utama, Jin pasti akan menegur jika memergoki anggotanya memasang raut seram pada orang lain dan Yoongi, yang menyempatkan berdoa agar Jin sembelit setidaknya satu setengah hari, terpaksa mengangguk pasrah sambil melonggarkan jarak duduk supaya Sejun dapat mengamati Jimin dengan leluasa.

Dia ingin mengumpat, sungguh. Minimal melempar mikrofon ke kepala Taehyung yang baru saja lewat di depannya sambil terkikik.

Bila ada yang bertanya apakah dia tak punya keberanian untuk membantah atau mengajukan keberatan, Yoongi akan mendengus lirih lalu menggeleng tanpa berkomentar. Memerintahkan Sejun untuk enyah sesegera mungkin tentu termasuk dalam salah satu pilihan yang perlu dipertimbangkan, namun Yoongi masih cukup sadar bahwa skenario di atas tampak seperti naskah sinetron murahan dan dia terlalu luar biasa untuk menjatuhkan diri pada level tersebut. Tak ada gunanya merasa dengki karena sejatinya Jimin bukan tidak menyadari.

Binar mata itu menangkap perubahan ekspresinya meski masih sambil menyahut pertanyaan Sejun, membagi dua fokus perhatiannya pada Yoongi dan sang penggemar yang begitu bersemangat. Yang bersangkutan melirik setengah hati, menghela napas sekilas, kemudian beranjak meninggalkan sofa diiringi tatapan heran dari berpasang-pasang mata. Sejun berhenti meracau, sementara rekan-rekannya mendesis bersamaan seraya berharap agar mereka tak perlu buru-buru menyiapkan terapi pemulihan mental atau pernapasan buatan untuk pemuda tersebut. Rumor berkata, Min Yoongi yang sedang tersinggung adalah wujud paling mengerikan yang harus dihindari. Kalimatnya berbisa, penuh zat berbahaya. Dendamnya mengerak bertahun-tahun dan korbannya tak akan dibiarkan menghirup udara dengan tenang.

Yoongi berkedik tak terusik, kaki tanggungnya melangkah melewati sejumlah meja penganan, lurus mendekati manajernya yang sudah menunggu dengan gelas kopi teracung. Disesapnya pelan, menikmati pahit yang melewati tenggorokan, turun menyebar ke seluruh organnya dan menenangkan darah yang mulai mendidih. Bohong bila mengaku tak cemburu. Wajahnya memang sepucat boneka, tapi Yoongi tetaplah manusia.

Tepat ketika hendak bergeser meraih nampan canape, sesuatu melesat ke arahnya dengan kecepatan tinggi. Tanpa komando, tanpa aba-aba, serta langsung memanjat punggung Yoongi yang spontan terbatuk akibat ditimpa.

Seisi koridor menganga terpana, termasuk Jin yang tersedak camilannya. Butuh sekitar lima hingga sepuluh detik bagi Yoongi untuk menyeimbangkan tubuh. Beruntung manajernya paham dan bergegas mengambil gelas kopi yang hampir lolos dari genggaman. Jimin yang sedang bertenaga tak bisa dibilang ringan dan Yoongi bersyukur ketahanan tulangnya belum menyentuh angka renta.

Lengan Yoongi terjulur ke belakang, menarik kedua paha Jimin merapat melingkari pinggang, mencegah pemuda itu melorot dari atas gendongan dan menyuruhnya mengeratkan pegangan. Jimin mengiyakan tak sungkan. Jari-jari mungilnya dijalin melingkari bahu Yoongi disusul tawa familiar yang bergema menyenangkan dan suara riang yang berujar heran, "Tumben tidak melemparku, hyung?"

"Mau kujatuhkan sekarang?"

Jimin menggeleng tersipu. Wajah dibenamkan di lekuk leher Yoongi, sejenak mencibir pada Taehyung yang mencolek pantatnya sambil bersiul mengejek.

Dari balik rambut yang menutupi separuh pelipis, Yoongi mengalihkan tatapan pada seorang pemuda yang sibuk menggerutu dan sedang diseret oleh rekan lainnya agar kembali untuk gladi resik. Senyum miringnya tersungging tinggi, membalas rengut kesal Sejun penuh kepuasan selagi dagunya terangkat disertai gumam jumawa.

"Satu sama."

.

BANGTAN - The DormsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang