02-Kartu Pertama

83 10 4
                                    

02.Kartu Pertama

"Kenapa? Kenapa lo mau manggil gue Senja?" Tanya Senja kaget.

Bagaimana tidak kaget? Kejadian-kejadian yang selalu ia bayangkan sebelum tidur itu kini menjadi kenyataan.

"Gue suka senja, maksudnya senja yang langit. Dan kayaknya unik aja kalau gue punya teman yang bisa gue panggil senja." Jawab Bulan lugas.

"Kalau gitu gue manggil lo Bulan, ya!" Seru Senja semangat.

"Deal." Kata Bulan seraya menjulurkan tangannya ke arah Senja dan kembali bersuara, "Hai Senja, gue Bulan."

"H-hai Bulan, gue Senja." Jawab Senja salah tingkah ketika tangannya menyentuh tangan Bulan.

Mereka sama-sama tersenyum, di bawah sinar matahari yang makin memerah.  Jangan tanya bagaimana perasaan Senja saat ini, karena ia bahkan terlalu senang untuk mengekspresikan perasaannya.

"Lo mau tahu, nggak? Gue belum pernah kasih izin ke orang lain buat manggil gue Senja," papar Senja.

Bulan tersenyum dan berkata, "gue juga belum pernah kasih izin ke orang lain buat manggil gue Bulan."

"Serius?" Tanya Senja kaget, tidak paham dengan permainan yang sedang dimainkan oleh semesta.

"Tiga rius. Ngapain juga gue bohong?" Bulan menolehkan kepalanya pada Senja, menatap mata bulat gadis itu lekat-lekat.

Sedangkan gadis yang ditatap itu pun langsung salah tingkah dan mengalihkan pandangannya.

"Jangan tatap gue kayak gitu, Bulan. Senja yang disini nggak suka ditatap."

"Kenapa Senja yang disini nggak suka ditatap?" Tanya Bulan yang masih menatap Senja.

"Karena Senja yang disini buruk rupa, Bulan."

Senja menunduk, kepercayaan dirinya semakin menurun. Ia selalu seperti ini setiap mengingat penampilan fisiknya.

Tinggal di negara dengan standar kecantikan yang berbanding terbalik dengan kondisi fisiknya membuat gadis ini tidak bisa menerima dirinya sendiri.

"Senja yang disini nggak akan bisa buat orang-orang yang menatap itu menetap, Senja yang disini nggak memancarkan kehangatan, Bulan." Kata Senja.

"Senja yang disini gelap, berantakan, banyak cacatnya," tambah Senja mendeskripsikan dirinya yang berkulit gelap dan memiliki rambut keriting serta puluhan bekas jerawat di wajahnya.

Sedari tadi Bulan hanya diam. Dan diamnya pria itu membuat Senja menarik kesimpulan bahwa pria itu setuju dengan ucapan Senja, dan tidak tahu harus berkomentar seperti apa karena takut menyakiti perasaan Senja.

Senja juga paham, Bulan pasti kaget karena melihat sisi lain dari gadis itu. Sisi lain yang hanya ia tunjukkan pada orang-orang tertentu. Senja yang biasanya diperlihatkan pada Bulan biasanya itu selalu tertawa, memiliki teman dimana-mana, dan tidak pernah menunduk saat berjalan.

Senja kemudian mengangkat kepalanya dan menatap Bulan yang terlihat sedang berpikir. "Anggap aja ini kartu pertama yang gue buka di depan lo. Masih ada banyak kartu-kartu lain yang tertutup, lo mau liat kartu-kartu lain itu atau cukup satu aja?" Tandas Senja. Ia lelah melihat Bulan yang diam saja.

"Kenapa lo mau buka kartu-kartu itu di depan gue?"

"Karena gue nggak mau lo manggil gue 'Senja' tapi ngeliat gue sebagai 'Alle'. Senja dan Alle itu dua orang yang berbeda, Bulan."

Bulan berpikir sejenak. "Hmm.. Apa gue bakal jadi orang pertama yang kenal lo sebagai Senja?"

"Nggak juga, sih. Lo bakal jadi orang keempat yang kenal Senja. 3 sahabat gue yang paling dekat udah gue kenalin sama Senja." Jawab Senja jujur.

"Masih masuk lima besar. Boleh lah, gue mau liat kartu-kartu lo yang lain," jawab Bulan lugas.

"Oke. Ah, iya. Satu lagi, jangan sampai ada kartu gue yang lo buka di depan orang lain terutama yang kenal gue, ya?" Mohon Senja.

Bulan mengangguk dan menatap mata Senja, berusaha meyakinkan gadis itu. "Iya, Senja percaya aja sama Bulan."

Senja mengangguk, "oke, Senja percaya Bulan. Sekarang Senjanya pulang dulu ya, udah waktunya terbang ke langit, nih."

Bulan tertawa mendengar candaan itu, membuat Senja lagi-lagi bersumpah dalam hatinya.

"Sial. Harusnya nggak usah gue becandain, jantung gue mau meledak nih jadinya!" Seru gadis itu dalam hatinya.

Senja berdeham pelan dan berdiri, membuat Bulan berhenti tertawa dan mengalihkan pandangannya pada gadis itu.

"Gue pulang ya,"

Bulan mengangguk pelan dan berpesan agar gadis itu berhati-hati, yang tentunya diiyakan oleh Senja.

"Senja," panggil Bulan setengah berteriak karena gadis itu sudah berada di tengah lapangan sedangkan dirinya masih duduk di tribun.

Senja berhenti berjalan, menolehkan kepalanya pada Bulan. "Iya?"

"Gue menetap setiap menatap senja bukan karena dia cantik, menghangatkan, dan apapun itu yang menurut lo bisa buat orang menetap ketika menatap senja.

Gue selalu menetap karena senja itu selalu berbeda setiap hari, dan gue suka liat perbedaan itu. Entah karena posisi gue yang beda, atau memang keadaan langitnya beda.

Dan gue rasa, senja nggak bakal cantik kalau dia nggak berbeda setiap harinya. Jadi, lo jangan takut buat jadi berbeda. Itu justru berkat buat lo."

Kalimat-kalimat itu membuat hati Senja menghangat. Dan sejak detik itu, Senja mendeklarasikan bahwa ia benar-benar jatuh hati pada Bulan.

Tanpa sadar, gadis itu tersenyum miris. Dari ratusan teman yang ia miliki, kenapa hanya Bulan yang menyadari perbedaannya sebagai berkat?

Kenapa teman-temannya yang lain menganggap rambut keriting dan kulit coklatnya merupakan sebuah kutukan?

Kenapa cantik itu harus berkulit putih, berambut lurus, berpipi tirus, dan berhidung mancung?

🌙🌙🌙

Part 2 sudah terbit🤗 Bagaimana menurut kalian sejauh ini? Sudah bisa mulai memahami Senja atau belum?

Oh ya, jangan lupa jika ada kritik/saran atau ingin sekadar bertukar cerita dengan saya, kalian bisa hubungi saya di DM instagram @ phanesart . Saya akan berusaha untuk menjadi pendengar yang baik

Salam hangat dari lilin kecil,
phanes.

ps. jangan lupa tinggalkan jejak setelah membaca, ya.

Bulan pada SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang