7. Merindui Bersandar di Dada Kiri Itu

165 20 0
                                    


Bening melangkahkan kaki masuk ke dalam kamarnya, menghidupkan lampu dan merebahkan diri di atas tempat tidur.

Pukul satu malam, ia mengantuk, ia lelah.  Di Makassar pasti sudah pukul dua malam. Bening ingin menghubungi Megantara tapi tidak mau mengganggu tidur lelaki itu. Akhirnya Bening memilih duduk dan mengetik.

Kepada: Pria Hujanku

Dini hari ini aku memutuskan untuk tidak tidur cepat. Aku menunggu hujan. Tapi hujan belum datang.

Kamu tahu siapa yang datang? Sesuatu bernama kenangan. Dalam langit malam yang berbintang. Dalam lagu yang kuputar.

Ah, kita pernah membahas sebelumnya. Kita pernah sepakat, bahwa 'Musik adalah mesin waktu yang sederhana'. Kali ini aku bukan hanya refleks bersenandung Mesin Penenun Hujan, juga lagu ini..

🎶Ada yang tak sempat tergambarkan oleh kata
Ketika kita berdua
Hanya aku yang bisa bertanya
Mungkinkah kau tahu jawabnya🎶

🎶Malam jadi saksinya
Kita berdua diantara kata
yang tak terucap
Berharap waktu membawa keberanian, Untuk datang membawa jawaban🎶

🎶Mungkinkah kita ada kesempatan,
Ucapkan janji takkan berpisah selamanya🎶

Kamu ingat? Lagunya Berdua saja-nya Payung Teduh yang (akhirnya) kita sepakat menyukainya. Iya, lagu ini mengingatkan aku pada satu malam kita berbaring bersama di dermaga tak bernama, menatap langit yang tua.

Ah ya, bintang-bintang. Itu adalah makhluk malam kepunyaan kelam. Jadi ingat mimik mukamu yang selalu terkesima mendengar ceritaku bahwa aku tidak pernah lihat bintang seindah itu di kota Medan. Dan kamu tertawa saat aku bilang bintang di sana tertutup ruko tinggi dan spanduk besar membentang.

Dan kita akan terus cerita entah berapa lama, sampai tetes hujan jatuh menghujami pipi kita berdua.
Namun, kita sangat menikmatinya.
Kita tetap akan berbaring menengadah, menikmati hujan kita.

Jika sudah menggigil, maka genggaman akan semakin erat menjadi pelukan di bawah pohon 'penahan hujan' kita sampai hujan mereda dan bintang kembali terang.

Hujan adalah cara alam meretas keangkuhan dua insan, yang menolak berpelukan.

Bening menjeda ketikannya dan menghela napas. Teringat kejadian tadi, saat mengikuti acara kantor.
Ia tidak tahu kenapa, sulit sekali berkonsentrasi. Ia hanya menatap kosong langit-langit interior. Ia tidak peduli Direktur atau Kepala Divisi presentasi apa. Ia mengambil dunianya sendiri dan tertegun menatapi langit-langit itu.

Lampunya berbaris rapi, dengan bohlam kecil berwarna kuning. Seperti gemintang yang mereka tatap setelah senja sambil berbaring di pulau itu, dan Bening merasa sendu.

Ia kembali mengetik lagi.

Katamu, cinta adalah ketika kita bersama dalam kebisuan, dan kita tetap merasa begitu nyaman. Jika itulah definisi cinta, mungkin benar kata mereka, saat ini aku sudah jatuh. Jatuh kepada kamu, karena aku merasa begitu nyaman akan semua hal yang ada pada dirimu. Aku seperti menemukan diriku sendiri.

Syukurlah jika aku masih hidup di dadamu itu. Dada yang nyaman dan lapang.
Dan aku selalu ingin kembali ke dada itu.

Aku hanyalah seorang pemurung yang selalu melamun setiap kali melihat hujan menebar kerinduan akanmu.

Aku adalah pemurung yang selalu mengembangkan senyum palsu dan berkata "Baik-baik saja" ketika mereka selalu bertanya keadaanmu, keadaanku, keadaan kita.

Tadi sebelum pulang, seorang teman kantor menghampiri mejanya, menatap dalam, hanya tersenyum tipis dan berkata, "Kau tidak seperti biasanya semenjak pulang dari Makassar. Kau lebih pendiam, beda dari yang kukenal. Kalau ada apa-apa cerita samaku ya."

Seperti mendapat tepukan halus di muka, Bening kaget. Tidak menyangka bahwa teman-temannya memperhatikan dan ia menjadi maklum mengapa mereka belakangan ini sering menanyakan Megantara secara bergantian. Akhirnya ia menyadari bahwa mereka adalah orang-orang yang peduli dengannya dan Megantara. Bening yakin, mereka punya doa yang sama; berharap ia dan Megantara baik-baik saja.

Duh, ia jadi berkaca-kaca lagi. Iya, ia sudah berjanji sama diri sendiri. Untuk menjadi wanita tangguh Megantara yang lebih tegar hari ke hari. Bening kembalikan pandangannya ke layar.

Sebenarnya banyak cerita yang ingin aku ceritakan. Tidak punya kekuatan ceritakannya lewat kata atau suara. Aku ingin bercerita dari tatapan mata saja. Dan aku rindu dipelukmu setelahnya.

Menempelkan telinga di dada kirimu, merasakan detak jantung itu, dan melabuhkan semuanya di situ.

Kuulangi, aku selalu rindu bersandar di dada kirimu, merapatkan telinga ke situ dan mendengar detak jantungmu yang menenangkan.

Aku rindu. Aku rindu. Aku rindu. Bunuh saja aku.

Nb. Aku masih saja tidak menyanyikan bait reff lagu Mesin Penenun Hujan-nya Frau secara utuh. Iya, aku masih tidak suka dengan lirik 'kausakiti aku, kaugerami aku, kau benci aku' karena setiap menyanyikan itu aku ingat kamu, dan lirik itu tidak relevan dengan kamu.

Yang merindui berada di dada kirimu.

[Bee]

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 24, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Meg and Bee (Pending)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang